CewekBanget.ID - Girls, sudah tahu belum nih, kalau hubungan emosional hingga seksual antara anak atau remaja dengan orang yang lebih dewasa bisa disebut sebagai grooming, yang merupakan bentuk kekerasan seksual?
Fyi, berdasarkan sebagian besar peraturan perundang-undangan di Indonesia, ambang usia dewasa atau legal berada di angka 18 atau 19 tahun, seperti dilansir dari Kompas.com.
Artinya, usia seseorang yang berada di bawah angka tersebut termasuk kategori anak-anak hingga remaja.
Nah, ketika seorang dewasa yang berusia di atas 18 tahun menjalin hubungan dengan anak-anak atau remaja di bawah ambang usia tersebut, kekerasan terhadap anak-anak dan remaja rentan terjadi.
Grooming atau child grooming termasuk dalam kekerasan terhadap anak-anak dan remaja tersebut, ya.
Kita juga perlu tahu nih, kalau sepanjang 2021, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mencatat kira-kira 11.952 kasus kekerasan anak.
Dari jumlah tersebut, bentuk kekerasan yang paling sering dialami anak adalah kekerasan seksual.
Bahkan melansir dari Kompas.com, angkanya mencapai 7.004 kasus, lho!
Topik mengenai grooming dan kekerasan seksual terhadap anak ini kembali menjadi sorotan, gara-gara belakangan ini ramai pemberitaan soal artis Kriss Hatta berusia 34 tahun yang memacari seorang perempuan berusia 14 tahun.
Lantas, apa itu grooming dan kenapa tindakan itu disebut sebagai kekerasan terhadap anak-anak dan remaja di bawah umur?
Simak penjelasannya, ya!
Baca Juga: Pelaku 'Nayoung Case' Bebas 100 Hari Lagi, Bahaya Bagi Korban Kekerasan Seksual
Grooming
Secara definisi, grooming atau child grooming adalah aktivitas membangun hubungan emosional dengan orang di bawah umur.
Jalinan hubungan ini bahkan kadang diupayakan pelaku dengan keluarga dan orang-orang terdekat anak atau remaja sebagai korban.
Proses grooming ketika pelaku menginisiasi dan mempertahankan hubungan emosional dan seksual dengan korban, yang masih berada di bawah umur, secara rahasia.
Tujuan mendekati anak-anak atau remaja dan keluarganya ini adalah untuk menjebak sang korban demi menjadikannya obyek kekerasan seksual.
Ini termasuk memanipulasi, mengeksploitasi, hingga melecehkan korban.
Pelaku grooming bisa juga disebut predator ketika grooming berlanjut pada seksualisasi hubungan terhadap korban di bawah umur, dengan ketidaktahuan dan rasa penasaran yang masih tinggi.
Ditambah lagi, saat masih anak-anak atau remaja, kita belum paham kalau kita berhak menolak hal-hal terhadap diri kita yang bikin enggak nyaman.
Inilah kenapa grooming disebut merugikan dan membahayakan korban karena secara usia, anak-anak dan remaja sesungguhnya masih harus belajar memahami konsep consent.
Kita juga harus paham fakta bahwa siapa pun selain diri sendiri enggak boleh menyentuh dan berbuat apa saja terhadap tubuh kita tanpa izin.
Jadi ingat, orang lain yang melakukan sesuatu pada tubuh dan diri kita bisa disebut sebagai memaksa dan melakukan kekerasan, ya, dan kita berhak menolak saat merasa enggak nyaman dengan tindakan tersebut.
Baca Juga: Belajar dari Kasus #JusticeForAudrey, Ini Alasan Main Keroyok Enggak Menyelesaikan Masalah!
Tahap-Tahap Grooming
Ada sejumlah tahap dalam grooming atau child grooming yang kerap diabaikan dan harus kita perhatikan mulai sekarang.
Pertama-tama, pelaku biasanya menargetkan calon korban yang masih berusia di bawah umur, seperti anak-anak dan remaja.
Pelaku pun bakal mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang kelemahan calon korban dan situasi emosional yang membuat korban merasa tersingkir atau terabaikan, misalnya jika korban memiliki latar belakang keluarga dan pertemanan yang bermasalah, insecure, dan lain-lain.
Setelah itu, pelaku akan mendekati korban hingga keluarga korban, demi mendapatkan kepercayaan mereka dan membuat pelaku lebih gampang mengakses batasan pribadi korban.
Di sinilah manipulasi pelaku bisa dimulai, misalnya ketika pelaku hendak melakukan sesuatu terhadap korban, ia akan berusaha meyakinkan korban kalau keluarga dan orang terdekat mereka sudah mempercayai dirinya.
Kemudian korban mulai diisolasi oleh pelaku, dengan merencanakan hal-hal yang hanya bisa dilakukan oleh mereka berdua dan membuat korban percaya kalau hanya dialah yang boleh menemani dan bersama dengan korban.
Grooming juga semakin berbahaya saat sudah mengarah pada seksualisasi hubungan, misalnya saat pelaku atau predator mengenalkan konsep-konsep aktivitas seksual kepada korban, entah dengan menunjukkan konten-konten seksual, bermain roleplay, dan sebagainya.
Pelaku juga berusaha membentuk persepsi pada korban kalau mereka boleh melakukan aktivitas seksual bersama, dan mengontrol korban secara seksual pula.
Di sini, kekerasan seksual terjadi.
Pada intinya, pelaku grooming sebagai orang dewasa terus mengontrol dan memegang kuasa atas diri korban di bawah umur, dengan memberikan rasa 'aman' palsu pada korban.
Pacaran Beda Usia Seperti Apa yang Disebut Grooming?
Nah, ada hal yang kerap dipertanyakan banyak orang saat membicarakan soal grooming dan kekerasan seksual terhadap anak dan remaja.
Pertanyaannya, apakah pacaran 'biasa' dengan perbedaan usia terpaut jauh juga termasuk grooming dan salah untuk dilakukan?
Yang perlu dipahami, kalau orang-orang tersebut berada dalam hubungan konsensual dan sama-sama sudah berusia legal secara hukum, perbedaan usia mungkin bukan masalah.
Tapi kalau ada pihak di bawah umur dalam hubungan tersebut, sementara pihak lainnya tergolong sudah dewasa atau sudah berusia lebih dari 19 tahun, ini berarti hubungan tersebut merupakan bentuk grooming dan enggak seharusnya dinormalisasi.
Hubungan manipulatif memang bisa terjadi pada siapa saja dan cenderung merupakan akibat dari karakter atau sifat pelaku, tapi perlu diingat kalau kasus grooming di sini harus diwaspadai karena korbannya berusia di bawah umur secara hukum.
Jadi sebagai remaja, yuk kita lebih memahami konsep hubungan konsensual dan menyadari otoritas terhadap tubuh kita sendiri.
Selalu waspadai orang lain, khususnya orang yang lebih tua, yang mendekati kita dan menunjukkan tanda-tanda red flag saat hendak berhubungan dengan kita.
Red flag yang dimaksud bisa berupa perhatian khusus, memberikan hadiah, menyentuh dengan berbagai cara, mendengarkan kita dengan simpatik, menawarkan bantuan kepada keluarga kita, hingga berpura-pura menjadi sosok seumuran kita saat berkenalan dan berinteraksi di internet.
Kalaupun dalam skenario terburuk ternyata kita menjadi korban grooming dan mungkin baru menyadarinya, jangan menyalahkan diri sendiri, ya!
Yuk, saling jaga dan jangan biarkan orang lain mengambil alih otoritas atas diri kita sendiri, girls.
Baca Juga: Maksudnya Baik, Tapi Jangan Sembarangan Spill Kasus Kekerasan Seksual!
(*)