Rose - Jasmine

By Astri Soeparyono, Senin, 22 September 2014 | 16:00 WIB
Rose - Jasmine (Astri Soeparyono)

Terasa jantungku yang berdetak semakin keras saat mata Danis beradu dengan mataku. Hingga saat ini, tak kusangka aku akan mengatakan semua perasaanku secara terang-terangan di depannya, dan di depan teman-temanku. Nafasku pun ikut berburu dengan deru detak jantungku yang benar-benar telah mencapai level kepanikan tingkat satu. Aku menatap wajah-wajah sekelilingku yang tengah memandangku dengan berbagai macam jenis ekspresi wajah yang sulit kutafsirkan. Heran, tak percaya, syok, kagum, merendahkan, bahkan menghina.

Hawa dingin menyergapku hingga ubun-ubunku. Hingga suara tawa sengit menarik lepas gelak tawa dari semua yang mengelilingiku.

"Jasmine??? Kau? Menyukai Danis?? Apa enggak salah?!" kata Naura dengan nada ketus padaku, mengalihkan pandanganku ke arahnya.

"Ngaca, dong, Jasmine! Elu, tuh, enggak level buat suka sama Danis!" sahut Syafira sambil mendorong pundakku pelan.

"A...aku cuma berusaha jujur! Bukankah itu yang menjadi tantanganku?" jawabku gugup.

"Iya! Tapi lihat-lihat dong kalo mau jujur buat ngungkapin perasaan! Elu pantes, enggak, buat hal itu?!" jelas Rose dengan nada yang terasa menyakitkan, diikuti gelak tawa yang semakin meriah memekikkan telingaku.

"Dasar udik!" celetuk seseorang. "Cupu gitu berani suka sama Danis! Ya enggak level-lah!" celetuk lainnya mencercaku.

Aku terkucilkan di tengah-tengah mereka. Duduk bergidik sambil meremas dress terbaikku yang kupakai khusus untuk acara pesta ini. Aku tak menyangka Rose yang seminggu ini telah dekat denganku, dan berikrar akan menjadi sahabatku selamanya, justru menghardikku dengan kata-kata yang menyakitkan. Kutatap lemah wajah Danis yang duduk di seberangku. Ia duduk santai dengan tangannya yang menutupi ujung hidung dan bibirnya. Gaya khasnya yang selama ini membuatku jatuh cinta. Namun, kulihat ia melirikku dengan sebuah senyuman tersungging di sudut bibirnya.

Tak terasa air mataku mengalir pelan dari sudut mataku. Kuharap kacamataku yang tebal ini dapat menutupinya sehingga tak ada yang melihat. Sayang, Rose menangkap basah wajahku yang mulai sembab.

"Yah! Gitu aja nangis! Dasar cengeng!" seru Rose mencemoohku memancing cemoohan teman-temannya.

"Kenapa kau tega padaku? Bukankah kau bilang kita sahabat?" tanyaku pada Rose sambil menahan tangis yang hampir meledak.

"Helooo! Gue?? Sahabatan sama elo?? Enggak mungkinlah, ya! Elo, tuh, enggak level sama gue," jawabnya kemudian.

"Tapi, kan, kamu bilang...."

"FYI, Jasmine! Gue Rosemary Abraham enggak bakal mau temenan sama elo," lanjut Rose memotong perkataanku. "Dan asal elo tahu, selama sepekan ini gue baik sama elo itu cuma pura-pura aja. Tentang kita sahabatan juga cuma bohongan. Soalnya, kita cuma bikin taruhan siapa yang bisa bikin elo dateng ke pesta dan ngerjain lo kayak gini bakal jadi pemenangnya. Dan gue...pemenangnya!" jelasnya diakhiri dengan senyum sinis.

"Kamu tega!!!" teriakku. Dan tangisku pun meledak. Hingga aku tak tahu apa yang terjadi selanjutnya, tiba-tiba sebuah tangan menarikku keluar dari kerumunan itu. Dan beberapa menit kemudian aku sudah berada di dalam mobil yang membawaku melaju menjauhi rumah Rose.

***

"Dasar bego!" seru seseorang menyadarkan lamunanku. Air mataku masih terasa meleleh membasahi wajahku. Mungkin make-up wajahku sudah berantakan karenanya.

"Lihat wajahmu yang mengerikan itu! Kau seperti hantu, tau!" lanjutnya kemudian. Aku pun menatapnya sengit.

"Euwh! Lihat wajahmu yang penuh dengan noda hitam itu! Sudahlah, jangan menangis. Kau aman sekarang," katanya sambil menepuk pundakku.

"Lebih baik kita mencari tempat untuk membersihkan mukamu yang mengerikan itu. Aku tidak mau orang-orang lari ketakutan karena mengira aku telah membawa hantu!"

Oh! Dia cerewet sekali! Siapa dia? Aku tidak kenal siapa cowok yang sedang mengendalikan kemudi itu. Ia terus saja nyerocos tanpa memperhatikan bagaimana perasaanku saat itu. Mungkinkah dia salah satu teman Rose? Tapi, kenapa dia menyelamatkanku?

"Siapa kau? Kenapa kau membawaku pergi? Apa mau menjebakku di tempat lain lalu kau mengundang Rose dan teman-temannya untuk mencemoohku?!" tanyaku beruntun.

Ia mendengus. "Ya, Tuhan! Kenapa aku harus menjebakmu di tempat lain? Di rumahku saja kau sudah mati kutu seperti itu. Seharusnya kau berterima kasih padaku karena aku telah menyelamatkanmu tadi!"

Rumahku? Bukankah tadi rumah Rose? Lantas siapa dia?

Aku menatapnya heran. Kurasa ia membaca ekspresi wajahku saat itu.

"Kenalin, aku Abbas. Abbas Abraham. Abang Rose," katanya memperkenalkan.

Aku terkejut setengah mati hingga kurasa mulutku menganga dan mataku yang kecil melotot, lalu berkata, "A...bang Ro...se??"

"Ya! Abang atau kakak. Kenapa kau jadi syok kayak gitu? Kau terlihat jelek sekali dengan wajah seperti itu! Ha-ha-ha..." ia kembali tertawa renyah.

Kalau benar ia abang Rose, jauh sekali perbedaannya dengan adiknya. Wajah Abbas ramah sekali, juga terkesan santai dan berantakan. Rambutnya ikal, memiliki jambang dan ia juga memiliki lesung pipit saat tersenyum. Giginya rapi dan senyumnya manis sekali. Bisa kubilang dia memiliki wajah yang tampan. Rose memang cantik, namun wajahnya yang jutek membuatnya sungguh berbeda dengan sang kakak.

"Maafin kelakuan adikku. Ia terlalu dimanja, jadinya, ya, seperti itu. Tapi aslinya dia baik, kok. Dan mungkin dia sangat cemburu tadi karena kau berani mengungkapkan perasaanmu kepada cowok yang bernama Danis itu. Karena jujur saja, adikku sangat menyukai bocah itu. Tapi dia tidak berani mengungkapkan perasaannya sepertimu. Yah, walaupun kamu melakukannya karena permainan tadi. Aku yakin, sih, kamu pasti enggak bakal berani mengatakan perasaanmu secara langsung tanpa permainan itu," jelas Abbas panjang lebar.

Rose menyukai Danis? Oh Tuhan! Harusnya aku sudah menduga sejak awal. Perlakuan dan perhatian Rose pada Danis memang beda jika dibandingkan kepada murid-murid cowok lain di SMA. Aku telah menyakitinya dengan mengatakan semua pernyataanku tadi. Kini aku mengutuki diriku sendiri yang mau mengkuti permainan truth or dare itu!

"Aku telah menyakiti Rose! Seharusnya aku sudah menduga kalau dia menyukai Danis. Maafkan aku..." kataku lirih.

"Sudahlah! Aku rasa itu semua sudah diatur sama teman-teman Rose yang lain. Dan gadis yang menunjukmu tadi, kurasa ia telah merencanakan pertanyaan itu sejak semula. Ia mungkin iri dengan Rose, atau mungkin ia juga menyukai si Danis itu. Jadi ia ingin menjatuhkan Rose dengan memancing sifat buruknya yang pemarah itu untuk keluar. Aku bisa mengambil kesimpulan, justru Rose-lah yang dikerjai dalam pesta itu, tapi melalui perantara kamu. Heh! Licik sekali! Dasar SMA! Ha-ha-ha..." Abbas kembali tertawa renyah mengakhiri pendapatnya.

Apakah benar semua itu? Jika benar, mungkin Naura, Syafira, bahkan cewek-cewek lain juga menyukai Danis. Danis memang sosok yang begitu dikagumi murid-murid perempuan di SMA. Mungkin Naura sengaja memancing kemarahan Rose untuk menunjukkan sifat buruk gadis itu. Malang sekali nasib Rose.

"Sungguh, aku menyayangi Rose sebagai sahabat. Aku senang sekali bisa berteman dengannya. Walaupun hanya seminggu menjalin pertemanan dengannya, tetapi waktu itu adalah waktu terindah selama aku di SMA ini," kataku kemudian.

"Ya, aku bisa lihat itu. Kau terlihat tulus saat berteman dengannya. Dibandingkan dengan teman-temannya yang lain. Mereka semua sungguh bermuka dua."

"Bagaimana kau bisa tahu? Aku tidak pernah melihatmu," tanyaku heran.

"Ha-ha-...aku bisa melihatmu di mana saja," jawabnya sambil menunjukkan senyumnya yang lebar.

"Tapi kini aku penasaran, bagaimana keadaan pesta saat ini," lanjutku.

"Kita akan lihat nanti setelah kau membersihkan mukamu yang mengerikan itu! Ha-ha-ha..."

Aku tersenyum malu.

***

Kulihat Rose tersungkur dan terduduk di atas lantai sambil menangis dikelilingi oleh orang-orang di pesta itu. Naura tersenyum dengan perasaan puas bersama Syafira setelah berhasil mendorong Rose.

"Rose!" seruku menghentikan aksi Naura yang hendak menendang tubuh Rose.

"Hentikan!" seruku pada Naura, mengalihkan pandangan semua pasang mata ke arahku. Aku berlari ke arah Rose dan berusaha menolongnya.

"Lepaskan aku!" serunya sambil menepis tanganku yang hendak membantunya untuk berdiri.

"Jasmine, kaukah itu?" tanya Syafira. Aku lalu menatapnya tajam.

"Iya, ini aku! Kenapa kau memperlakukan Rose seperti ini di rumahnya sendiri?! Bukankah kalian adalah sahabatnya?!" seruku pada mereka.

"Kami bukanlah sahabatnya! Kami hanya berpura-pura baik padanya!" seru Naura marah. "Aku benci padanya! Aku benci Rose yang selalu pamer semua barang-barang mewahnya! Selalu menarik perhatian cowok-cowok dengan kelakuannya yang genit itu!" lanjutnya berapi-api.

"Naura...teganya kau! Bukankah kita bertiga sudah bersahabat lama?" tanya Rose lirih di antara sesenggukan tangisannya.

"Itu menurutmu! Aku hanya memanfaatkan kepopuleranmu saja, Rose! Ha-ha-ha, sakit, kan, rasanya dicerca seperti itu? Seperti yang kau lakukan pada Jasmine?" kata Naura sengit. Jasmine tertunduk sambil terus menangis.

"Dan kau Jasmine! Kenapa kau berusaha menolongnya? Rose telah mencemoohmu tadi? Dia tidak pantas untuk ditolong, Jasmine!" tanya Syafira dengan nada sengit.

"Dia temanku! Dia juga sudah kuanggap sebagai sahabatku walaupun ia tidak menganggapku demikian! Kalian gadis licik! Aku tahu semua yang terjadi telah kalian rencanakan sebelumnya!"

Kedua mata Naura dan Syafira berkilat-kilat menatapku dengan marah.

"Sudahlah! Sebaiknya jangan membuat keributan di rumahku!" seru Abbas menarik perhatian kami semua.

"Siapa kau?!" tanya Naura.

"Aku kakak Rose. Dan kalian telah menyakiti adikku! Lebih baik kalian cepat pergi dari sini sebelum kutendang kalian satu persatu!" hardik Abbas dengan wajahnya yang dibuat seserius mungkin.

"Dan kau dua gadis yang sudah menyiksa adikku! Jika kalian masih mengganggu Rose dan Jasmine, tak segan-segan akan kulaporkan perbuatanmu itu pada polisi!" ancam Abbas pada Naura dan Syafira yang membuat mereka berdua bergidik ketakutan.

"Ih, kakak malu-maluin aja!" Rose merajuk kesal.

"Kamu ini yang malu-maluin! Masa tuan rumah disiksa kayak gitu! Ha-ha-ha..." balas Abbas, dan seperti biasa diakhiri dengan suara tawanya yang renyah.

***

Satu minggu berlalu. Naura dan Syafira tidak menggangguku atau pun Rose lagi. Hanya saja, aku dan Rose belum saling bicara satu sama lain. Dan hal itu membuatku sedih dan merindukannya.

Dan bagaimana kabar Abbas sekarang? Aku merindukan suara tawanya yang renyah. Ah! Bukan merindukan! Tapi ingin mendengar saja!

"Kulihat banyak murid cowok yang berusaha mendekatimu sekarang," kata seseorang di belakangku yang membuatku terhenyak dari lamunanku.

"Rose?!" seruku senang.

"Jangan terlalu senang. Aku hanya ingin memberikan surat ini padamu." Ia menyodorkan sepucuk surat dengan amlop warna hitam padaku. Hitam?

"Itu dari Abang. Kurasa ia ingin mengajakmu keluar. Sebaiknya kamu mau karena hal itu akan menghentikan kegilaannya menyebutkan namamu terus di depanku!" lanjutnya.

Aku tersenyum simpul. Abbas yang unik. Mungkin hitam adalah warna kesukaannya.