Rela

By Astri Soeparyono, Sabtu, 4 Mei 2013 | 16:00 WIB
Rela (Astri Soeparyono)

            "Lebay lo! Tadi nyokap sudah dimandikan. Sebentar lagi mau dikubur, di Jakarta, sih. Lo mau ikut, enggak? Nanti gue bilang sama bokap, gue ke sana bareng lo," jelasnya.

            Aku meneliti Kanin. Wajahnya tetap ceria, auranya tetap aura dodol seperti pembawaannya di hari biasa. Seakan-akan tidak ada hal aneh-atau penuh duka, lebih tepatnya-yang terjadi. Tidak ada seraut kesedihan di wajahnya.

            Ini aneh. Padahal biasanya Kanin anak yang sensitif. Mudah menangis.

            "Lo beneran enggak apa-apa, Kan?" tanyaku sekali lagi, memastikan.

            Kanin tertawa lagi. Seakan-akan aku melawak. Sial, padahal kan aku khawatir kalau ada apa-apa dengannya. "Well, Ferska ganteng, lo udah liat sendiri gue baik-baik aja. Sekarang gue mau izin ke bokap dulu, lo enggak mau setor tampang ke beliau?" katanya sambil lalu.

            Aku menghela napas, tersenyum kecil. Dia mendorong bahuku pelan, berjalan ke dalam rumah.

*

 

            Sejujurnya, reaksi Kanin agak...membingungkan. Sekarang ketakutanku tak beralasan.

            Maksudku, dia cewek. Masa tidak ada rasa sedih sama sekali di hatinya ketika ditinggal ibunya? Atau dia sudah rela sepenuhnya? Secepat itu? Aku tidak yakin.

            Selama kami di motor, menuju ke taman pemakaman tempat ibu Kanin akan beristirahat untuk selamanya, aku menyetir sambil melamun. Ketika Papa meninggal dulu, jangan pernah tanya reaksiku. Hanya akan membangkitkan luka lama. Aku menangis, mengeluarkan air mata, namun tak ada suara. Hanya diam membisu seperti mayat hidup. Tak ada yang tahu soal ini. Aku tak mau membagi dukaku yang terlalu dalam. Terlalu...terluka. Sampai-sampai Mama dan Bima, adikku, menyerah untuk membujukku bicara.

            Aku anak kesayangan Papa. Aku sangat dekat dengannya. Sungguh mengagetkan ketika tiba-tiba aku mendapat berita Papa telah dipanggil oleh-Nya karena serangan jantung.

            Padahal, Papa sudah janji mau install game baru di komputer kami dan akan memainkannya bersama. Ia juga sudah berencana denganku untuk jalan ke salah satu pusat penjualan alat-alat komputer, untuk melihat-lihat. Papa suka bercerita tentang masa mudanya, yang tak pernah membuatku bosan. Kami sudah siap-siap untuk jogging esok harinya...dan semuanya, seluruh hal, yang meyakinkan aku dia akan tetap di sebelahku untuk waktu yang lama.

            Lalu Papa meninggal. Tiba-tiba.