Oom Chandra tertawa. Tawa yang pedih. Aku menelan ludah. "Kamu ini kayak enggak tau Kanin aja. Dia itu jago menyembunyikan perasaannya. Sama seperti dia menyembunyikan kalau dia suka kamu, kan?"
Wajahku panas. Aku sekarang tahu darimana bakat lawak Kanin. "Oom ini bisa aja bercandanya."
Ekspresi Oom Chandra kaku lagi. Kaku karena kesedihan, seperti topeng. Perutku seperti dihantam bata melihatnya. Oom Chandra adalah orang terlucu yang kukenal setelah Kanin. "Oom tahu kamu kenal betul Kanin. Tolonglah. Buat apa pun agar ia lebih baik. Kami mengadakan pengajian, tapi sepertinya saudara sudah cukup untuk mengurus, jadi ajak Kanin ke mana saja. Bisa, tidak? Untuk menghibur anak itu."
Apakah begitu ekspresiku, begitu terpukul dan menyedihkan, seperti Oom Chandra, ketika Papa pergi?
"I...iya, Oom."
Oom Chandra menepuk bahuku pelan, kemudian berlalu. Kulihat ia menghibur Putri, masuk ke mobil, meninggalkan taman pemakaman ini.
Kuperhatikan sekeliling. Mobil Oom Chandra adalah mobil kerabat terakhir yang pergi. Sekarang tempat ini sudah sepi lagi.
Aku mencari Kanin. Ternyata ia duduk di warung teh botol depan taman pemakaman sekarang. Sebuah botol air mineral ia genggam. Ia melamun lagi. Menatap kendaraan yang lewat.
Ah.
Apa benar ia menyembunyikan kesedihannya?
Oh, tentu saja. Aku kenal Kanin. Ia adalah professional. Ia bisa menyembunyikan apa pun yang ia rasakan, namun tak bisa mengontrol apa yang ia pikirkan. Ia bicara sesuai apa kata kepalanya, tapi tidak menunjukkan apa pun tentang perasaannya. Terlihat jutek namun sebenarnya baik hati.
"Hei," sapaku. Kanin menoleh pelan. Lalu ia mengangkat alis saat melihatku.