Rela

By Astri Soeparyono, Sabtu, 4 Mei 2013 | 16:00 WIB
Rela (Astri Soeparyono)

            Akhirnya Mama menyerah untuk membujukku. Beliau memanggil Kanin ke rumah. Aku menangis di depan Kanin. Kanin menghiburku dan berusaha membuatku ceria lagi. Mengajakku keliling kota, bermain, makan, belajar, apa pun yang bisa mengalihkan pikiranku dari Papa.

            Itu empat tahun yang lalu. Percayalah, walau aku terlihat lebih baik sekarang, namun aku masih belum rela akan kepergian Papa. Luka di hatiku masih belum kering.

            Dan aku takut itu terjadi pada Kanin.

            Makanya, aku melompat kaget ketika mendengar ibu Kanin meninggal dari Asti dan Dika. Mereka menelponku dengan gaya histeris, menyuruhku buru-buru ke rumah Kanin.

            Tapi nyatanya, dia terlihat baik-baik saja. Bahkan sempat melempar beberapa lelucon.

            Aku meliriknya dari kaca spion. Dari balik helm, aku bisa melihat Kanin menatap gedung-gedung yang kami lewati sambil melamun.

            Apa yang dia pikirkan? Aku berusaha menebak dalam hati. Apakah ia memikirkan soal ibunya? Atau ia memikirkan aku? Atau memikirkan tugas? Atau ayahnya? Adiknya? Keluarga? Jangan-jangan ia berpikir untuk membuat lelucon baru, seperti biasa?

            Aku tidak mampu menebaknya. Ia terlihat tenang. Namun, entah kenapa aku merasa ia menyembunyikan sesuatu dariku.

            Kami tiba di tujuan. Aku dan Kanin turun, jalan beriringan. Ternyata mobil yang membawa ibu Kanin dan keluarganya belum sampai ke Taman Pemakaman Umum ini.

            Salah seorang keluarga Kanin tiba lebih dulu. Lalu, entah adik atau kakak dari ibu Kanin, memeluk cewek itu, setengah histeris.

            "KANIIIN! Ibumu, kenapa cepat sekali dia pergi? Kenapa Niiiin? Aku tak rela, Nin, aku tak relaaa! Dia saudara kesayanganku, kenapa dia harus pergi Niiiin??"

            Suasana jadi ramai. Kanin terbelalak, lalu matanya berubah jadi sayu. Aku memandanginya. Kanin tersenyum padaku, berusaha menenangkan kerabatnya sekaligus menenangkan aku. Ia berkata,