"Bu, aku juga kaget pas Mama ninggalin kita. Tapi itu udah kehendak Yang Di Atas, kita bisa bilang apa? Cuma bisa mendoakan supaya beliau diterima di sisi-Nya, bener, 'kan? Berdoalah kita, semoga Mama selamat di alam sana. Semua orang pasti mati," tukas Kanin sambil membelai punggung kerabatnya tersebut pelan.
Cuma bisa mendoakan supaya beliau diterima di sisi-Nya?
Ah, benarkah itu, Kanin? Aku masih belum bisa menerima Papa pergi. Bagaimana aku bisa mendoakan, bila aku masih sering berharap ia tiba-tiba datang ke rumah, merentangkan tangan untuk memelukku dan berteriak, "SURPRISE!"
Bagaimana bisa kamu rela dengan kepergian ibumu yang sangat kau sayangi itu, yang selalu kau banggakan itu, yang suka bertengkar denganmu, yang suka kau beri hadiah, yang suka kau candai....
Aku harap aku bisa mengerti....
Jenazah ibu Kanin datang. Aku tersentak, lalu ikut membantu. Mereka segera menguburkannya. Adik Kanin pingsan ketika prosesi pemakaman tersebut. Kanin, saudaranya dan aku langsung repot mengangkat Putri ke mobil keluarga.
"Mama...jangan tinggalin Putri... Putri belum liatin wisuda SMA Putri...," igau adiknya. Air mata keluar dari bola mata Putri. Wajahnya sedih, stres, kaku.
Apakah seperti itu wajahku, ketika Papa meninggal?
Aku menyadari ketika tiba-tiba tubuh Kanin menjadi tegang. Ia balik badan. Saudara-saudaranya tidak ada yang menyadari hal tersebut karena sibuk mengurus Putri. Aku menyusul Kanin yang ternyata menuju ke pusara ibunya.
Ayah Kanin mendatangiku. Aku terpaksa berhenti menyusul Kanin.
"Ferska, Oom enggak tau Kanin sekarang kayak gimana. Dia tidak mau Oom ajak bicara soal mamanya. Kamu bisa, kan, ajak bicara dia? Oom takut dia shock atau apa...."
"Ah, dia baik-baik saja, kok, Oom. Tadi bahkan dia mengajak saya bercanda."