Aku terdiam. Selalu bisa membaca pikiranku. Cewek rese.
Aku menarik napas, menggenggam tangan Kanin. Kanin tidak menarik tangannya. Kegembiraan menguasaiku.
"Menangislah," kataku lagi.
"Robot rusak," Kanin berusaha tertawa. Namun tawanya sumbang, tidak ada sisa keceriaannya. Di dalam kegelapan basement, aku melihat air matanya jatuh.
"Ya ampun, Ferska. Gue udah janji sama diri gue sendiri supaya tetap tegar dan enggak nangis. Supaya Putri enggak putus asa liat gue! Ini semua gara-gara lo!" ujar Kanin sambil mengusap air mata. Ada canda di tengah tangisnya.
"Nangis enggak salah, Nin," ujarku.
Merasa agak canggung, aku merangkul Kanin. Ia tidak menolak, dan terlihat nyaman. Seketika aku lega lagi. Aku melihat sekeliling. Basement kosong.
"Relain, Nin, relain," ujarku. Kanin tertawa lagi. Tawa yang menyedihkan. Tawa yang menyindirku. Seperti mempertanyakan kecerdasanku.
"Bodoh, lo, Ka. Tentu gue rela! Apa sih, yang bisa terjadi kalo gue enggak rela? Palingan gue jadi gila!" Kanin mengusap pipinya lagi. "Dan apa pula ngaruhnya ke dunia kalau gue gila? Kalau gue sedih berkepanjangan? Enggak ada! Gue rela, Ka, rela... Tapi sungguh...pas nyokap udah enggak ada, gue enggak bisa mikir apa yang harus, enggak, apa yang bisa gue lakukan?"
"Banyak," jawabku otomatis. Itu jawaban yang ia katakan padaku dulu, ketika Papa pergi.
Hening.
"Banyak," Kanin menyetujui.
Kami terdiam, tak bicara sepatah kata pun lagi. Hanya terdengar isakan Kanin. Lalu tiba-tiba ia melepas rangkulanku, berdiri tegak. Seakan ia mampu menghadapi dunia lagi.
"Yuk, pulang!" katanya, nada suaranya ceria lagi.
"Lo...udah enggak apa-apa?" tanyaku ragu.
Kanin tersenyum. Membuat jantungku berdetak lebih keras. Senyum itu adalah yang membuatku jatuh cinta. Senyum yang seketika membuatku sadar ia rela. Ia hanya merasa sedih karena kehilangannya ibunya.
Tapi ia rela.
Tidak seperti aku.
"Gue bisa tegar!" Kanin mengepalkan tangan dan mengacungkannya. "Kematian pasti dialami seseorang, 'kan? Termasuk gue. Gue rela. Gue rela, Ferska." Kanin menoleh padaku, menarik tanganku. Tubuhku rileks. Kanin baik-baik saja. "Ayo pulaaang!" rajuknya.
Aku ikut tersenyum. Aku menarik rambutnya. Kanin mencak-mencak, tawa kami memenuhi basement.
Aku tahu Kanin masih sedih. Tapi aku tahu pula ia akan segera bisa mengatasinya.
Dan setelah kejadian ini, setelah melihat Kanin, aku sadar bahwa aku sudah rela Papa pergi dari dunia ini.
(oleh: firliani sarah, foto: popcosmo.com)