Rela

By Astri Soeparyono, Sabtu, 4 Mei 2013 | 16:00 WIB
Rela (Astri Soeparyono)

"Kanina!" teriakku. Aku terengah-engah.

            Tadi aku terburu-buru ke rumah Kanin yang jaraknya lumayan jauh. Aku tergesa-gesa ke sini karena mendengar berita ibu Kanin meninggal dunia. Dan kupikir, ia akan butuh support-ku sebagai sahabatnya.

            Aku menenteng helm. Kanin, yang ada di teras rumah, menoleh padaku dan tersenyum. Senyum yang biasa.

            Aku ternganga.

            "Hei, Ka, lo dateng! Sori ya, agak sibuk jadi enggak bisa kasih tahu cepat-cepat. Tahu dari siapa?" tanya Kanin ceria. Ia melengang menghampiriku.

            Kanina mengenakan baju hitam-hitam, khas orang yang sedang berduka. Kulihat ayahnya, di dekat pintu, berdiri menyambut tamu dengan senyum tipis, sedangkan adik Kanin sedang menangis dan dihibur oleh kerabat.

            Aku melongo.

            "Fine?" tanyaku, tak bisa menahan diri.

            "Di depan aja, yuk. Di sini ramai," ujar Kanin kalem sambil menggenggam tanganku, menuntun keluar rumah. Wajahku menghangat, lalu aku mengikuti langkahnya.

            "Lo enggak apa-apa, Kan?" tanyaku, setelah kami sampai di depan rumah. Di sini banyak orang, namun tidak sesak seperti di dalam rumah. Kanin mengangkat alis, heran.

            "Menurut lo, gue gimana?" tanya Kanin. Aku bingung.

            "Enggak ada raungan atau semacamnya?" kataku. Kanin menunjukkan ekspresi heran, lalu tertawa kecil.

            "Lebay lo! Tadi nyokap sudah dimandikan. Sebentar lagi mau dikubur, di Jakarta, sih. Lo mau ikut, enggak? Nanti gue bilang sama bokap, gue ke sana bareng lo," jelasnya.

            Aku meneliti Kanin. Wajahnya tetap ceria, auranya tetap aura dodol seperti pembawaannya di hari biasa. Seakan-akan tidak ada hal aneh-atau penuh duka, lebih tepatnya-yang terjadi. Tidak ada seraut kesedihan di wajahnya.

            Ini aneh. Padahal biasanya Kanin anak yang sensitif. Mudah menangis.

            "Lo beneran enggak apa-apa, Kan?" tanyaku sekali lagi, memastikan.

            Kanin tertawa lagi. Seakan-akan aku melawak. Sial, padahal kan aku khawatir kalau ada apa-apa dengannya. "Well, Ferska ganteng, lo udah liat sendiri gue baik-baik aja. Sekarang gue mau izin ke bokap dulu, lo enggak mau setor tampang ke beliau?" katanya sambil lalu.

            Aku menghela napas, tersenyum kecil. Dia mendorong bahuku pelan, berjalan ke dalam rumah.

*

 

            Sejujurnya, reaksi Kanin agak...membingungkan. Sekarang ketakutanku tak beralasan.

            Maksudku, dia cewek. Masa tidak ada rasa sedih sama sekali di hatinya ketika ditinggal ibunya? Atau dia sudah rela sepenuhnya? Secepat itu? Aku tidak yakin.

            Selama kami di motor, menuju ke taman pemakaman tempat ibu Kanin akan beristirahat untuk selamanya, aku menyetir sambil melamun. Ketika Papa meninggal dulu, jangan pernah tanya reaksiku. Hanya akan membangkitkan luka lama. Aku menangis, mengeluarkan air mata, namun tak ada suara. Hanya diam membisu seperti mayat hidup. Tak ada yang tahu soal ini. Aku tak mau membagi dukaku yang terlalu dalam. Terlalu...terluka. Sampai-sampai Mama dan Bima, adikku, menyerah untuk membujukku bicara.

            Aku anak kesayangan Papa. Aku sangat dekat dengannya. Sungguh mengagetkan ketika tiba-tiba aku mendapat berita Papa telah dipanggil oleh-Nya karena serangan jantung.

            Padahal, Papa sudah janji mau install game baru di komputer kami dan akan memainkannya bersama. Ia juga sudah berencana denganku untuk jalan ke salah satu pusat penjualan alat-alat komputer, untuk melihat-lihat. Papa suka bercerita tentang masa mudanya, yang tak pernah membuatku bosan. Kami sudah siap-siap untuk jogging esok harinya...dan semuanya, seluruh hal, yang meyakinkan aku dia akan tetap di sebelahku untuk waktu yang lama.

            Lalu Papa meninggal. Tiba-tiba.

            Akhirnya Mama menyerah untuk membujukku. Beliau memanggil Kanin ke rumah. Aku menangis di depan Kanin. Kanin menghiburku dan berusaha membuatku ceria lagi. Mengajakku keliling kota, bermain, makan, belajar, apa pun yang bisa mengalihkan pikiranku dari Papa.

            Itu empat tahun yang lalu. Percayalah, walau aku terlihat lebih baik sekarang, namun aku masih belum rela akan kepergian Papa. Luka di hatiku masih belum kering.

            Dan aku takut itu terjadi pada Kanin.

            Makanya, aku melompat kaget ketika mendengar ibu Kanin meninggal dari Asti dan Dika. Mereka menelponku dengan gaya histeris, menyuruhku buru-buru ke rumah Kanin.

            Tapi nyatanya, dia terlihat baik-baik saja. Bahkan sempat melempar beberapa lelucon.

            Aku meliriknya dari kaca spion. Dari balik helm, aku bisa melihat Kanin menatap gedung-gedung yang kami lewati sambil melamun.

            Apa yang dia pikirkan? Aku berusaha menebak dalam hati. Apakah ia memikirkan soal ibunya? Atau ia memikirkan aku? Atau memikirkan tugas? Atau ayahnya? Adiknya? Keluarga? Jangan-jangan ia berpikir untuk membuat lelucon baru, seperti biasa?

            Aku tidak mampu menebaknya. Ia terlihat tenang. Namun, entah kenapa aku merasa ia menyembunyikan sesuatu dariku.

            Kami tiba di tujuan. Aku dan Kanin turun, jalan beriringan. Ternyata mobil yang membawa ibu Kanin dan keluarganya belum sampai ke Taman Pemakaman Umum ini.

            Salah seorang keluarga Kanin tiba lebih dulu. Lalu, entah adik atau kakak dari ibu Kanin, memeluk cewek itu, setengah histeris.

            "KANIIIN! Ibumu, kenapa cepat sekali dia pergi? Kenapa Niiiin? Aku tak rela, Nin, aku tak relaaa! Dia saudara kesayanganku, kenapa dia harus pergi Niiiin??"

            Suasana jadi ramai. Kanin terbelalak, lalu matanya berubah jadi sayu. Aku memandanginya. Kanin tersenyum padaku, berusaha menenangkan kerabatnya sekaligus menenangkan aku. Ia berkata,

            "Bu, aku juga kaget pas Mama ninggalin kita. Tapi itu udah kehendak Yang Di Atas, kita bisa bilang apa? Cuma bisa mendoakan supaya beliau diterima di sisi-Nya, bener, 'kan? Berdoalah kita, semoga Mama selamat di alam sana. Semua orang pasti mati," tukas Kanin sambil membelai punggung kerabatnya tersebut pelan.

            Cuma bisa mendoakan supaya beliau diterima di sisi-Nya?

            Ah, benarkah itu, Kanin? Aku masih belum bisa menerima Papa pergi. Bagaimana aku bisa mendoakan, bila aku masih sering berharap ia tiba-tiba datang ke rumah, merentangkan tangan untuk memelukku dan berteriak, "SURPRISE!"

            Bagaimana bisa kamu rela dengan kepergian ibumu yang sangat kau sayangi itu, yang selalu kau banggakan itu, yang suka bertengkar denganmu, yang suka kau beri hadiah, yang suka kau candai....

            Aku harap aku bisa mengerti....

            Jenazah ibu Kanin datang. Aku tersentak, lalu ikut membantu. Mereka segera menguburkannya. Adik Kanin pingsan ketika prosesi pemakaman tersebut. Kanin, saudaranya dan aku langsung repot mengangkat Putri ke mobil keluarga.

            "Mama...jangan tinggalin Putri... Putri belum liatin wisuda SMA Putri...," igau adiknya. Air mata keluar dari bola mata Putri. Wajahnya sedih, stres, kaku.

            Apakah seperti itu wajahku, ketika Papa meninggal?

            Aku menyadari ketika tiba-tiba tubuh Kanin menjadi tegang. Ia balik badan. Saudara-saudaranya tidak ada yang menyadari hal tersebut karena sibuk mengurus Putri. Aku menyusul Kanin yang ternyata menuju ke pusara ibunya.

            Ayah Kanin mendatangiku. Aku terpaksa berhenti menyusul Kanin.

            "Ferska, Oom enggak tau Kanin sekarang kayak gimana. Dia tidak mau Oom ajak bicara soal mamanya. Kamu bisa, kan, ajak bicara dia? Oom takut dia shock atau apa...."

            "Ah, dia baik-baik saja, kok, Oom. Tadi bahkan dia mengajak saya bercanda."

Oom Chandra tertawa. Tawa yang pedih. Aku menelan ludah. "Kamu ini kayak enggak tau Kanin aja. Dia itu jago menyembunyikan perasaannya. Sama seperti dia menyembunyikan kalau dia suka kamu, kan?"

            Wajahku panas. Aku sekarang tahu darimana bakat lawak Kanin. "Oom ini bisa aja bercandanya."

            Ekspresi Oom Chandra kaku lagi. Kaku karena kesedihan, seperti topeng. Perutku seperti dihantam bata melihatnya. Oom Chandra adalah orang terlucu yang kukenal setelah Kanin. "Oom tahu kamu kenal betul Kanin. Tolonglah. Buat apa pun agar ia lebih baik. Kami mengadakan pengajian, tapi sepertinya saudara sudah cukup untuk mengurus, jadi ajak Kanin ke mana saja. Bisa, tidak? Untuk menghibur anak itu."

            Apakah begitu ekspresiku, begitu terpukul dan menyedihkan, seperti Oom Chandra, ketika Papa pergi?

            "I...iya, Oom."

            Oom Chandra menepuk bahuku pelan, kemudian berlalu. Kulihat ia menghibur Putri, masuk ke mobil, meninggalkan taman pemakaman ini.

            Kuperhatikan sekeliling. Mobil Oom Chandra adalah mobil kerabat terakhir yang pergi. Sekarang tempat ini sudah sepi lagi.

            Aku mencari Kanin. Ternyata ia duduk di warung teh botol depan taman pemakaman sekarang. Sebuah botol air mineral ia genggam. Ia melamun lagi. Menatap kendaraan yang lewat.

            Ah.

            Apa benar ia menyembunyikan kesedihannya?

            Oh, tentu saja. Aku kenal Kanin. Ia adalah professional. Ia bisa menyembunyikan apa pun yang ia rasakan, namun tak bisa mengontrol apa yang ia pikirkan. Ia bicara sesuai apa kata kepalanya, tapi tidak menunjukkan apa pun tentang perasaannya. Terlihat jutek namun sebenarnya baik hati.

            "Hei," sapaku. Kanin menoleh pelan. Lalu ia mengangkat alis saat melihatku.

            "Pulang?" tanyanya.

            Aku menggeleng. "Nggak. Kita jalan dulu."

*

 

            "Nangis aja, sih," kataku pelan. Aku menyentuh punggung tangannya dengan ujung jariku.

            Butuh keberanian yang luar biasa besar untuk melakukan itu. Namun, dari tadi perhatian Kanin entah di mana. Jadi aku sekalian saja menaruh tanganku di atasnya.

            "Siapa yang mau nangis, coba?" sambar Kanin cepat. Aku mengangguk sok paham.

            Kami ada di sebuah kafe di mal tengah kota. Tempat aku suka nongkrong dengan Kanin, Asti dan Dika dulu. Namun semenjak kami kelas 3 SMA, aku hanya sekelas dengan Kanin. Jadilah aku ke sini berdua dengannya sejak itu. Sama dengan Asti dan Dika yang sering ke sini tanpa kami.

            "Nangis itu enggak selalu berarti cengeng. Menangislah kalau mau," kataku lagi.

            Kanin mendelik. "Ih, apaan sih, Ka! Ngomongnya kok melankolis gitu? Ini dunia nyata, bukan sinetron!"

            Aku tertawa, tawa terpaksa. Kanin menatapku sebal, lalu ikut tertawa juga. Namun tawanya tidak lepas. Kuperhatikan matanya. Setitik kepedihan pun tak ada. Benarkah ia merasa kehilangan? Dari tadi aku menunggunya mengeluarkan emosi apa pun tetapi ia datar saja.

            "Pulang aja, yuk," Kanin bangkit. Aku mengangkat bahu, mengikutinya.

            Kanin bicara panjang lebar, tentang hal-hal tidak penting. Aku hanya mengangguk, menggeleng, atau menggumam. Tiba-tiba ia menatapku lekat-lekat.

            "Lo nunggu gue jadi histeris, ya?" tembak Kanin langsung.

            Aku terdiam. Selalu bisa membaca pikiranku. Cewek rese.

            Aku menarik napas, menggenggam tangan Kanin. Kanin tidak menarik tangannya. Kegembiraan menguasaiku.

            "Menangislah," kataku lagi.

            "Robot rusak," Kanin berusaha tertawa. Namun tawanya sumbang, tidak ada sisa keceriaannya. Di dalam kegelapan basement, aku melihat air matanya jatuh.

            "Ya ampun, Ferska. Gue udah janji sama diri gue sendiri supaya tetap tegar dan enggak nangis. Supaya Putri enggak putus asa liat gue! Ini semua gara-gara lo!" ujar Kanin sambil mengusap air mata. Ada canda di tengah tangisnya.

            "Nangis enggak salah, Nin," ujarku.

            Merasa agak canggung, aku merangkul Kanin. Ia tidak menolak, dan terlihat nyaman. Seketika aku lega lagi. Aku melihat sekeliling. Basement kosong.

            "Relain, Nin, relain," ujarku. Kanin tertawa lagi. Tawa yang menyedihkan. Tawa yang menyindirku. Seperti mempertanyakan kecerdasanku.

            "Bodoh, lo, Ka. Tentu gue rela! Apa sih, yang bisa terjadi kalo gue enggak rela? Palingan gue jadi gila!" Kanin mengusap pipinya lagi. "Dan apa pula ngaruhnya ke dunia kalau gue gila? Kalau gue sedih berkepanjangan? Enggak ada! Gue rela, Ka, rela... Tapi sungguh...pas nyokap udah enggak ada, gue enggak bisa mikir apa yang harus, enggak, apa yang bisa gue lakukan?"

            "Banyak," jawabku otomatis. Itu jawaban yang ia katakan padaku dulu, ketika Papa pergi.

            Hening.

            "Banyak," Kanin menyetujui.

            Kami terdiam, tak bicara sepatah kata pun lagi. Hanya terdengar isakan Kanin. Lalu tiba-tiba ia melepas rangkulanku, berdiri tegak. Seakan ia mampu menghadapi dunia lagi.

            "Yuk, pulang!" katanya, nada suaranya ceria lagi.

            "Lo...udah enggak apa-apa?" tanyaku ragu.

            Kanin tersenyum. Membuat jantungku berdetak lebih keras. Senyum itu adalah yang membuatku jatuh cinta. Senyum yang seketika membuatku sadar ia rela. Ia hanya merasa sedih karena kehilangannya ibunya.

            Tapi ia rela.

            Tidak seperti aku.

            "Gue bisa tegar!" Kanin mengepalkan tangan dan mengacungkannya. "Kematian pasti dialami seseorang, 'kan? Termasuk gue. Gue rela. Gue rela, Ferska." Kanin menoleh padaku, menarik tanganku. Tubuhku rileks. Kanin baik-baik saja. "Ayo pulaaang!" rajuknya.

            Aku ikut tersenyum. Aku menarik rambutnya. Kanin mencak-mencak, tawa kami memenuhi basement.

            Aku tahu Kanin masih sedih. Tapi aku tahu pula ia akan segera bisa mengatasinya.

            Dan setelah kejadian ini, setelah melihat Kanin, aku sadar bahwa aku sudah rela Papa pergi dari dunia ini.

(oleh: firliani sarah, foto: popcosmo.com)