Dia, Perjalanan dan Mati Kutu

By Astri Soeparyono, Sabtu, 16 Maret 2013 | 16:00 WIB
Dia, Perjalanan dan Mati Kutu (Astri Soeparyono)

Udara pagi yang sejuk berpadu dengan semangat yang merekah tinggi. Wajah-wajah segar menghiasi pagi untuk memulai aktifitas. Tapi, di ruangan kelas 10.3 itu, semua wajah segar tampak lebih panas dari biasanya. Dengan seorang guru yang menjadi pusat perhatian satu kelas itu.

"Hasil ulangan kemarin sudah Ibu periksa. Hasilnya bisa dilihat." Beliau membagikan lembar demi lembar hasil ulangan murid-muridnya. "Jadi yang tidak sesuai dengan standar kelulusan, minggu depan harus ikut perbaikan," tambahnya dengan nada tegas.

Selembar kertas dengan tinta warna merah, akhirnya tiba di meja. "Tiga puluh," gumam pemilik meja itu dengan wajah terkejut.

"Nilai lo berapa, Chi?" Rita merampas paksa lembaran ulangan itu dari tangan Rachi. Seketika, matanya melotot tanda tak percaya. "Hah? Tiga puluh!? Lo enggak salah?"

"Apanya yang salah!? Gua, kan, orang Sunda, jadi wajar dong kalo nilai Bahasa Jepang gua kecil," Rachi santai menanggapi, biarpun sesungguhnya ia malu bukan main. Rachi merampas kembali hasil ulangannya. "Repot amat, lo!"

"Tapi, nilai lo paling kecil, Chi..." Rita hampir mati menahan tawanya. Dilihatnya wajah Rachi yang tampak lucu. "Bisa-bisanya lo sesantai itu, padahal wajah lo merah. Lucu banget..."

"Puas amat, lo!" Rachi mendengus kesal, "Orang lagi terpuruk itu harusnya dikasih semangat, malah diketawain."

Dan akhirnya Rita tak dapat lagi menahan tawanya. Ia tertawa tergelak melihat sisi lain dari Rachi. Jika selama ini ia mengenal Rachi sebagai anak yang pintar. Pagi itu, ia merasa duduk lebih tinggi dari Rachi. Bangga.

**

Sekumpulan anak-anak SMA berada tepat di bawah langit yang terik. Seorang siswi diam-diam menepi dari hiruk-pikuk teman-temannya itu. Ia berjalan acuh, kemudian menaiki angkot untuk pulang. Rupanya, ada yang lebih menyita pikirannya. Lagi-lagi tentang nilai Bahasa Jepangnya yang untuk ke sekian kalinya tak pernah melewati angka 35.

Bagaimana Rachi bisa merasa tenang, selama setahun mengawali masa SMA, satu-satunya hal yang membuatnya risih adalah nilai Bahasa Jepangnya yang mengkhawatirkan. Hal itu membuatnya malu karena sering menjadi bahan ledekan teman-temannya. Karena saya orang Sunda, itulah satu-satunya kata yang digunakan Rachi untuk membela diri. Tapi, sampai kapan ia membela diri seperti itu?

Sudah... Jangan terlalu dipikirkan, nanti bisa belajar lagi. Rachi mencoba menghibur dirinya sendiri. Ia mengangkat wajahnya yang sejak tadi tertunduk. Di dalam angkot dengan segala yang ada, Rachi meluaskan pandangannya untuk mencari hal menarik. Hingga, pandangannya terhenti pada kursi paling pojok di angkot itu. Seorang cowok tersenyum padanya.

Kenapa Adrian ada di angkot yang sama? Bukannya jalur antara Adrian dan dirinya berbeda? Rachi memerhatikan jalanan yang dilalui angkot itu dan ia merasa asing dengan daerah itu. Saat itu juga, firasat buruk menghampiri Rachi. Ia membaca tulisan di kaca belakang angkot itu. "Addduh...salah naik angkot," gumamnya pelan.

Adrian yang sejujurnya telah menyadari jika Rachi naik angkot yang salah, hanya tersenyum simpul. "Salah naik angkot ya, Chi?" Dia menahan tawanya melihat Rachi yang seketika panik.

Rachi tak tahu seperti apa rasa malunya saat itu. Rasanya ingin menutupi wajahnya dengan tembok-tembok tebal. Malu banget. "Habis, warna angkotnya sama-sama hijau. Aku pikir ini angkot ke rumahku," Rachi berusaha memberi alasan agar dirinya tak terlihat konyol.

"Kamu ngelamun aja, sih."

"Aku enggak tahu daerah ini, lagi..."

"Tenang aja, aku tahu, kok, jalurnya. Nanti aku aku kasih tahu." Adrian yang awalnya duduk berseberangan dengan Rachi, kemudian berpindah dan duduk di samping Rachi. "Enggak usah panik."

Rachi mengangguk. Ia berusaha tampil tenang di dekat cowok yang sebulan ini ia sukai. Rachi menyadari jika dirinya mulai salah tingkah.

"Kenapa diam? Di kelas, kamu biasanya cerewet."

Lagi-lagi Rachi hanya tersenyum. Ia mulai mati kutu.

Adrian yang saat itu tengah mendengarkan musik dengan mp3 player putih kesayangannya memberikan sebelah earphone yang awalnya menggantung di telinganya pada Rachi. "Coba dengerin..."

Rachi menerimanya, kemudian mendengarkan musik yang keluar dari earphone putih itu. Ia mendengarkan baik-baik. "Ini lagu apaan, ya?"

"Itu lagu soundtrack anime dan beberapa lagu Jepang. Kebetulan, aku suka nonton anime," Adrian menoleh ke arahnya. "Tadi, nilai Bahasa Jepang kamu kecil, ya?"

Mati kutu lagi. Rachi tertunduk malu. "Iya..."

"Hmm... gimana, kamu suka musiknya?"

"Aku suka. Tapi aku enggak ngerti."

"Enggak apa-apa. Kalau kamu mulai suka, pasti kamu mencoba memahami isi lagunya."

Rachi mengangguk masih dengan wajah gugupnya.

"Nih!" Adrian memberikan sebelah lagi earphone-nya, "Bawa aja, biar kamu bisa belajar lagi. Jangan terlalu rumit, mulai dari cari arti tiap judul lagunya. Selanjutnya, tiap kata yang kamu dengar, coba cari di kamus."

Merah. Pipi Rachi merona. Cowok yang terkenal pendiam, ternyata ramah sekali padanya. Itu semakin membuat Rachi mengaguminya.

"Berhenti di depan, Pak!" Adrian sedikit berteriak pada supir angkot. "Ayo..." ajaknya ramah kepada Rachi.

Rachi dan Adrian berdiri di pinggir jalan di antara hilir mudik kendaraan di hadapan mereka.

"Kamu tinggal naik angkot itu," Adrian menunjuk salah satu angkot di seberang sana, "itu angkot ke rumah kamu 'kan?"

Rachi terdiam. Dia hanya menatapi jalanan yang sesak oleh kendaraan.

"Kenapa?"

"Drian... aku enggak bisa nyeberang."

Kali ini giliran Adrian yang diam. Dia juga menatapi jalanan yang siang itu memang ramai.

Rachi menoleh dan menatap Adrian dengan wajah heran. "Kenapa?"

"Aku juga enggak bisa nyeberang."

"HAH?" Rachi tertawa. "Aku enggak nyangka kalau kita sama-sama takut nyeberang."

Senyum terlihat di wajah cowok kelas 1 SMA itu. Tampak bahagia dengan segala kebisingan di pinggir jalan itu.

"Adrian... kalau kamu adalah kaum yang takut nyeberang sepertiku, berarti kamu tahu, dong, cara nyebrang paling aman?"

Rachi dan Adrian saling berpandangan dengan senyum yang sama-sama merekah. Mereka tengah memikirkan hal yang sama. Kemudian, keduanya bebicara hampir berbarengan, "Nunggu orang nyeberang, terus ikutan nyeberang bareng!"

Gelak tawa terdengar di pinggir jalan dengan sinar matahari cukup terik. Kedua orang itu terlihat akrab. Dua orang yang biasanya saling terdiam, kini menemukan untaian tali yang mengikat keduanya.

**

"Yap! Beres juga!" Rachi menyimpan buku-buku yang baru saja ia kerjakan karena ada PR. Malam itu, ia berniat tidur, tapi sesuatu membuatnya mengurungkan niat.

"Benda itu," gumamnya saat melihat mp3 player yang tergeletak di atas tempat tidurnya. Ia tersenyum, lalu mengambil benda berwarna putih itu. Dua bagian earphone segera ia pasang di telinga. Musik bernuansa oriental mulai bergema dalam pikirannya.

Jika setiap ketukan nada dapat dinikmati, rasanya ada yang kurang. Ia tak mengerti makna dari lagu itu. Rachi mengambil kamus Bahasa Jepangnya dari atas rak. Rasa penasarannya membuat Rachi bersemangat untuk mencari arti kata yang didengar dari lagu-lagu itu. Lalu, Rachi mencoba menulisnya dengan keterampilan menulis Bahasa Jepang seadanya. Biarpun terkadang jadi bingung sendiri, Rachi terus mengulangnya.

Saat seseorang mulai tertarik akan suatu hal, maka ia akan mencoba memahaminya. Rupanya, kata-kata Adrian itu sedikit banyak mempengaruhi pola berpikir Rachi. Jika awalnya ia menganggap Bahasa Jepang itu sulit, maka ia sedikit mengubah asumsi. Ia mencoba menyukai untuk mencoba memahaminya.

Rachi mencoba meyakinkan dirinya tentang kemampuan diri sendiri. Dengan semangat menggebu, ia berusaha sebisanya.

Untuk beberapa hari ini, Rachi sedikit mengorbankan waktu santainya. Yang sering ia lakukan pada waktu senggangnya sekarang adalah menenteng kamus Bahasa Jepang dengan telinga yang ditutupi earphone putih.

**

Seperti saat seorang terdakwa akan menjalani sidang dan hendak membuktikan dirinya tak bersalah, begitulah raut wajah yang ditunjukkan Rachi. Ketegangan berpadu satu dengan semangat. Hari ini, Rachi akan melihat seberapa jauh ia terbang.

Kaki mungilnya mulai beranjak menuju meja yang menjadi tempatnya berjuang. Selembar kertas berisikan hurup Hiragana, Katakana, dan Romanji menggodanya untuk segera mengisi bagian yang kosong. Dengan pulpen bertutup kelincinya, Rachi mulai mengisi semampunya.

**

"Gimana, Chi?" Adrian telah menunggu kedatangan temannya itu di teras depan kelas. Disampingnya, Rita tersenyum dengan wajah jahil. "Kebangetan, Chi, kalo dapetnya tiga puluh lagi."

"Saat seseorang berusaha menyukai sesuatu, maka ia akan berusaha memahami." Rachi membalik kertas ulangannya, "Enam lima! Rasanya semakin dekat menuju seratus."

"Wah...hebat!" Adrian bersorak gembira.

"Lo kalah, Ta," Rachi tersenyum jahil. "Sekarang, gue unggul dari lo. Ha-ha"

"Sombong amat lo, Chi."

"Karena seseorang yang dianggap kecil, pasti memiliki motivasi berlebih untuk menjadi besar..."

"Bicara lo kaya Neng Teguh."

"Neng Teguh? Neng Teguh siapa?"

"Masih satu angkatan sama Pak Mario Teguh!"

Terperangah, Adrian dan Rachi saling berpandangan dengan wajah menahan tawa. Pagi itu pun, diakhiri dengan aura melawak Rita yang membuat suasana menjadi sangat berwarna.

**

"Makasih, ya..." Rachi menggaruk kepalanya yang tak gatal. Wajahnya memerah. "Seminggu ini, kamu sangat membantu."

Adrian mengangguk.

Seperti biasa, Rachi selalu merasa mati kutu saat di dekat Adrian seperti saat ia menghadapi pelajaran Bahasa Jepang.

"Rachi...."

"Ya?"

"Mau naik angkot yang salah lagi denganku?"

"Heh?"

"Saat seseorang menyukai sesuatu, maka ia akan mencoba memahaminya." Adrian menatap Rachi dengan wajah luar biasa gugup. "Bolehkah, aku mencoba memahamimu?"

Untuk kesekian kalinya, Rachi dibuat mati kutu oleh Adrian

Kisah siang itu, pasti dapat ditebak jalurnya akan ke mana. Bukan menuju angkot yang salah lagi. Tetapi, menuju saat Rachi mengalami mati kutu. Tetapi, suasana mati kutu kali ini membuat hati seorang Rachi begitu hidup.

***

(oleh: N. Ratna, foto: imgfave.com)