Ini yang Akan Terjadi Kalau Seorang Kepala Daerah Dipenjara

By Aisha Ria Ginanti, Kamis, 11 Mei 2017 | 01:54 WIB
Ini yang Akan Terjadi Kalau Seorang Kepala Daerah Dipenjara. Foto: aintdsmas.org (Aisha Ria Ginanti)

Girls, pastinya kita tahu dong tentang kasus penistaan agama yang dituduhkan pada (sekarang sudah mantan) Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahja Purnama, alias Ahok.

Kasus yang sudah bergulir sejak Oktober 2016 ini akhirnya mencapai keputusan bahwa Ahok dinyatakan bersalah.

Yap, Selasa (9/5), hakim dalam persidangan di Kementrian Pertanian, Ragunan, Jakarta memvonis hukuman 2 tahun penjara kepada Ahok atas kasus penodaan atau penistaan agama.

"Menyatakan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok terbukti sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penodaan agama dan menjatuhkan penjara selama 2 tahun," ujar hakim seperti yang diberitakan oleh Tribunnews.com.

Ahok dinilai telah melanggar  Pasal 156a KUHP, yang isinya adalah:

"Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia".

Hukuman ini lebih berat daripada tuntutan awal jaksa yaitu hukuman 1 tahun dengan masa percobaan 2 tahun.

Jaksa menuntut Ahok dengan Pasal 156a KUHP dan 156 KHUP yang berisi:

"Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak Rp 4.500".

Meski begitu pihak Ahok sendiri menyatakan akan melakukan banding atas keputusan hakim ini.

Lalu apa yang akan terjadi saat seorang kepala daerah di penjara?

(Baca juga: 3 Bentuk Dukungan yang Diberikan Pemerintah Jakarta untuk Cewek yang Mau Mulai Berbisnis)

Meski sudah ada keputusan vonis 2 tahun pejara dari majelis hakim, status Ahok saat ini masih diberhentikan sementara dari jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Kenapa masih sementara?

Menurut Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo, masih diberhentikan sementara karena belum ada putusan yang berkekuatan hukum tetap (keputusan di tingkat pertama, banding atau pun kasasi).

Soalnya Ahok mengajukan banding, jadi masih akan ada keputusan lebih lanjut dari pengadilan.

Dasar surat pemberhentian sementara Ahok ini pun belum keluar karena masih harus menunggu keputusan presiden.

"Keputusan Presiden soal pemberhentian sementara menunggu salinan resmi keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara," ungkap Tjahjo pada Kompas.com.

Keputusan untuk memberhentikan Ahok sementara ini juga didasarkan pada Pasal 65 ayat 3 Undang-Undang Nomor 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah.

"Kalau tidak ditahan, ancaman hukumannya berapa pun, ya tetap bisa menjalankan tugas pemerintahannya sampai putusan hukum tetap. Tapi kalau diputuskan ditahan berarti yang bersangkutan tidak bisa melaksanakan tugas sehari-hari," kata Tjahjo di kantor Kementerian Dalam Negeri pada Tribunnews.com.

"Sore ini jam 16.30 WIB di Balai Kota DKI. Sebagai Mendagri atas nama pemerintah pusat memberikan surat penugasan kepada wagub DKI Djarot sebagai Plt Gubernur DKI," ujar Tjahjo melalui pesan singkat Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo pada Kompas.com.

Yap, dengan divonis dan diberhentikannya Ahok, saat ini jabatan orang nomor 1 di Jakarta diserahkan pada Djarot Saiful Hidayat yang sebelumnya menjabat sebagai wakil Ahok.

Djarot akan ditugaskan sebagai pelaksana tugas (Plt) Gubernur DKI Jakarta sampai ada putusun hukum yang berkekuatan tetap (hasil banding Ahok) atau sampai akhir masa jabatan, Oktober nanti.

(Baca juga: 10 Karangan Bunga Untuk Ahok & Djarot yang Bikin Baper. Bisa Jadi Kode Buat Cowok di Medsos, Nih!)

Menurut Tetta Riyani Valentia, Kepala Bidang Pengaduan & Komunikasi Masyarakat, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi DKI Jakarta, sampai saat ini enggak ada perubahan besar yang signifikan terkait diberhentikannya Ahok dan dilantiknya Djarot.

Tetta juga memastikan kalau semua pekerjaan dan pelayanan masyarakat akan tetap berjalan normal.

“Kami tetap melaksanakan tugas sesuai tugas pokok dan fungsi di dinas kami. Kami bertugas memberikan pelayanan izin dan non izin kepada masyarakat Jakarta apa pun kondisinya. Insya Allah kami selalu SETIA #MelayaniJakarta,” ungkap Tetta.

Jadi memang ditahannya seorang kepala daerah enggak serta merta bikin daerah tersebut jadi kayak anak ayam kehilangan induknya.

Karena pastinya sudah disiapkan pengganti dan antisipasi lainnya biar koordinasi dan pekerjaan lainnya bisa tetap berjalan normal.

Sebenarnya kasus kepala daerah didakwa dan ditahan sudah banyak terjadi di Indonesia.

Tapi memang kasusnya berbeda dari Ahok.

Umumnya yang terjadi adalah mereka ditahan karena terlibat kasus korupsi, bukan karena penistiaan agama atau kasus pidana lain.

Menurut data KPK tahun 2015, selama 11 tahun terakhir, ada 56 kepala daerah yang terjerat kasus korupsi di KPK.

Kepala daerah yang dimaksud, terdiri dari gubernur, wakil gubernur, walikota, bupati dan wakil bupati.

Nah, untuk Ahok sendiri, kalau sudah bebas dari tahanan nanti, bukan enggak mungkin bisa kembali terujun ke dunia politik.

Maksudnya kembali mencalonkan diri sebagai pejabat eksekutif (kepada daerah, menti atau presiden) atau pun legislatif (DPR/DPRD, MPR).

Soalnya secara hukum hal itu enggak dilarang.

Jangankan itu, seseorang yang berstatus sebagai tersangka saja masih bisa tetap dilantik sebagai kepala daerah kalau memang sudah menang atau terpilih saat Pemilu atau Pilkada, lho.

Diperbolehkannya mantan napi untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif atau pun eksekutif di pemerintahan ini diatur oleh putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU/7/2009.

Isinya, kurang lebih:

“Semua warga negara berhak menjadi pejabat publik. Sehingga mantan narapidana, baik terpidana korupsi, perampok, pengedar narkoba, pembunuh, pemerkosa, penyeludup, pelanggar HAM, pelaku gerakan separatis, dan teroris. Mereka berhak mencalonkan diri dan terpilih menjadi anggota DPRD, DPD, DPR, walikota, bupati, gubernur, bahkan presiden.”

Putusan MK ini meralat aturan pada UU No.10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif, Pasal 51g dan Pasal 50 ayat 1g dan Revisi UU No.12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 58f.

Sebelumnya, pasal-pasal itu menyebutkan kalau seorang caleg atau calon kepala daerah ahrus memenusi syarat enggak pernah dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.

Keputan MK tersebut dibuat dengan pertimbangan bahwa seorang mantan napi pun harus tetap memiliki hak politik (dipilih dan memilih) yang sama, soalnya sudah selesai menjalani masa hukuman.

Soal akan kembali terpilih atau enggak sebagai pemimpin, itu tergantung dari kita masyarakat yang memilihnya.

(Baca juga: Ahok Bilang Anak Muda Harus Peduli Sama Politik, Ini Alasannya)