Bukan cuma oleh masyarakat umum, perundungan dan kebiasaan menyalahkan korban kadang datang dari pihak berwenang, orang terdekat.
Bahkan keluarga yang seharusnya mampu memberikan rasa aman bagi korban dan penyintas pun bukan enggak mungkin malah jadi menyalahkan korban atas peristiwa yang menimpanya.
Selain itu korban, yang biasanya merupakan perempuan, sering dianggap sebagai pihak yang salah karena 'memancing' tindak kekerasan dari pelaku.
Pada akhirnya, kasus pelecehan dan kekerasan seksual, bahkan hingga budaya pemerkosaan (rape culture), jadi dianggap lumrah dan sepele di lingkungan sosial gara-gara kebiasaan victim blaming atau menyalahkan korban.
Cara Menghentikan Victim Blaming
Sudah memahami bahaya victim blaming, lalu apa yang bisa kita lakukan untuk menghentikannya?
Yang paling utama, bangun kesadaran dan edukasi terkait budaya menyalahkan korban, serta alasan hal ini harus berhenti sekarang juga.
Baca Juga: Bukan Salah Korban, Yuk Segera Akhiri Budaya Victim Blaming!
Selain itu, yuk kita fokus untuk lebih mendengarkan pihak korban ketika terjadi kasus pelecehan dan kekerasan seksual.
Pastikan dulu korban mendapatkan keamanan dan keselamatan yang dibutuhkannya sebelum membahas hal-hal lain.
Kadang kita juga lupa kalau membuka diri dan berbagi tentang kejadian traumatis yang dialami enggak selalu mudah bagi korban, makanya banyak dari mereka yang baru berani speak up setelah beberapa lama.
Sebisa mungkin, hargai upaya korban dan penyintas untuk berbicara tentang sesuatu yang begitu traumatis bagi mereka.
Source | : | The Atlantic,Harvard Law School HALT |
Penulis | : | Salsabila Putri Pertiwi |
Editor | : | Salsabila Putri Pertiwi |
KOMENTAR