Seringkali barang yang dikumpulkan sebetulnya enggak berharga atau memang sampah yang seharusnya dibuang, dan perilaku ini juga kerap berkaitan dengan kebiasaan membeli barang secara kompulsif hingga mengumpulkan barang gratisan seperti pamflet.
Hoarding disorder sendiri awalnya masuk ke dalam gejala gangguan obsesif-kompulsif (OCD) karena berkaitan dengan perilaku obsesif dan kompulsif dalam mengumpulkan barang.
Namun, gangguan ini juga menunjukkan gejala yang berkaitan dengan gangguan depresi mayor dan attention deficit hyperactivity disorder (ADHD).
Baru ketika Asosiasi Psikiatris Amerika merilis Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Edisi Kelima di tahun 2013, hoarding diklasifikasikan ke dalam kategori sendiri.
Perilaku hoarding bisa mulai dikenali sejak usia remaja dan semakin parah di usia dewasa atau lanjut, terutama jika penderitanya tinggal sendiri dan enggak ada orang yang dapat membantu.
Perilaku ini lebih umum ditemukan pada mereka yang mengalami gangguan psikologis seperti depresi, kecemasan, dan ADHD.
Hoarding juga kerap berkaitan dengan gangguan paranoid, skizofrenia, dan avoidant atau kecenderungan untuk menghindari interaksi sosial.
Gejala dan Alasan Hoarding Disorder
Gejala paling jelas dari gangguan ini adalah perasaan enggan atau enggak mampu membuang barang tertentu, serta adanya kecemasan yang kuat saat berusaha melakukan itu.
Selain itu, penderita hoarding disorder kerap kali sulit mengkategorikan atau merapikan barang, hingga merasa malu dan 'terkepung' oleh barang-barangnya sendiri.
Pada tahap lebih parah, penderita hoarding disorder kerap dihinggapi rasa obsesif, curiga, dan paranoid saat orang lain menyentuh barang-barangnya.
Baca Juga: Gemar Mengumpulkan Barang-Barang, Apa Bedanya Koleksi dan Hoarding?
Source | : | Healthline |
Penulis | : | Salsabila Putri Pertiwi |
Editor | : | Marcella Oktania |
KOMENTAR