"Kamu kenapa belum pulang, Nak?" tanya Om Muntoro dengan kening berkerut saat menatapku yang sibuk menyapu lantai masih dengan seragam putih abu-abu lengkap dengan atribut, bahkan dasinya.
Aku hanya senyam-senyum. "Nungguin Kak Fiki pulang, Om."
Dia mengalihkan tatapan pada kakakku dengan tatapan galak. Pasti dikiranya Kak Fiki memaksaku menemaninya sampai selarut ini.
"Udah kusuruh pulang, kok!" kakakku membela diri lengkap dengan tanda 'peace' dua jari oleh tangan kanannya. Kepalanya menyembul keluar dari lubang persegi panjang di dinding yang menjadi akses udara dari luar dapur ke dalamnya, begitu juga sebaliknya. "Dianya aja, tuh, agak rese, Om!"
"Kamu ini." Om Muntoro geleng-geleng kepala sendiri.
"Aku mau bantu-bantu aja, Om," ujarku.
"Ya, udah. Selesaikan meja ini, ya." Ia menatapku bersyukur. "Tapi habis itu harus pulang, lho. Nanti kalo orangtuamu marah, yang disalahin kan saya." Ia pun meninggalkanku dan kembali fokus mengelap meja-meja lain.
Tepat saat itu, pintu mendadak dibuka dengan suara keras, mengagetkan baik tamu, maupun staf yang tersisa. Begitu juga aku. Di baliknya, seorang cowok tinggi bertubuh atletis berisi muncul, mengenakan pakaian berupa jaket, jeans gelap, kacamata hitam, jam Rolex yang berkilau, serta sepatu basket Nike hitam. Saat ia berjalan masuk, dua orang pria gempal yang juga berkacamata dan berpakaian serba hitam mengikuti di belakangnya. Ia berjalan tegak, tegap, percaya diri.
"Maaf, restorannya mau tu-"
"Satu porsi Fettuccini. Beef, enggak pake lama. Kasih sekarang ke gue atau gue tutup restoran ini besok."
Seenaknya sekali cowok itu. Memotong perkataan Om Muntoro begitu saja. Tiba-tiba saja aku menjadi kesal padanya. Kesombongannya. Terutama ketika dia langsung duduk seenaknya di meja yang kosong, para penjaganya berdiri di sisinya dengan setia.
Tapi, aku tak mengatakan apa pun. Begitu selesai dengan meja yang kubersihkan, aku langsung pamit kepada kakakku yang sudah kepayahan, dan beranjak pulang.
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR