Pada senyumnya untuk kesekian kalinya malam itu, aku segera saja tahu, sebuah lembaran cerita baru telah dimulai untuk kami.
? ? ?
Dom tidaklah sesombong yang kukira. Ia adalah cowok yang baik dan sopan, yang belajar untuk membiasakan diri pada duniaku. Entah mengapa. Duniaku yang sempit dan miskin ini, bertubrukan dengan dunianya yang bergelimang kekayaan, kemudahan, kebahagiaan. Setidaknya kupikir begitu. Padahal Dom yang sedang kuliah semester satu ini mengatakan dengan jelas bahwa ia tak menyukai kekayaan. Ia ingin berubah, dan keluarganya bukanlah sebuah tempat bahagia. Sebaliknya ia merasa kagum padaku, aku dan kehidupanku. Darimana aku tahu semua itu? Aku tahu karena pada suatu hari di hari Senin, ia datang pukul tiga sore ke Da'Pasta, dan mengajakku pergi, berkeliling kota Jogja yang tak asing, menikmati pemandangan, mengunjungi keraton dimana ia berbagi cerita bersamaku, hingga pada akhirnya berjalan kaki di Malioboro yang penuh corak warna di langit malam.
Hal ini berlangsung terus-menerus, dan pada hari keempat, pada pukul dua belas malam di tengah Malioboro, aku menyadari sesuatu terjadi padaku. Di tempat ini, di tempat ia membawaku sekarang, Malioboro, aku mengalami sebuah perasaan yang mendalam. Sebuah keinginan, untuk tak jauh darinya. Sebuah kebahagiaan, untuk berada di sisinya dan mendengar tawanya. Sebuah sensasi baru, untuk bicara padanya dan berbagi cerita hidupku yang bagai langit dan bumi dibandingkan hidupnya. Di hari keempat ini, kami duduk di kursi panjang besi di pinggir jalan, memandang cahaya-cahaya ini. Bukan cahaya spesial, tapi entah kenapa hari ini terasa begitu spesial.
Di hari ini, aku untuk pertama kalinya melihatnya mengeluarkan sebuah kotak makan, membukanya,dan di dalamnya ada seporsi Beef Fettuccini yang telah dihiasi saus yang dibentuk hingga tampak bertuliskan: I LOVE YOU.
Dom tersenyum padaku,senyum lebar, sementara matanya yang jernih menatapku lekat.
Aku balas menatapnya, menggigit bibir dan jantung berpacu saat aku mengatakan hal yang sama padanya.
Pada malam itu, aku menyadari sesuatu. Aku menyadari cinta. Cinta pertamaku, yang hadir bersama seporsi fettuccini yang dihidangkan pukul dua belas malam tepat. Fettuccini tengah malam.
? ? ?
Seperti biasa, pada pukul tiga sore sepulang sekolah pada hari Jumat ini, aku menitipkan sepeda bututku di ruko Pak Handi, dan segera berlari ke Da'Pasta. Tapi kakiku segera berhenti melangkah. Aku melihat kakakku, matanya tampak sedih, beserta para chef lain, juga para pelayan, Mbok Ijah, Om Muntoro yang tampak sangat putus asa, beserta pria-pria lain bertampang eksekutif yang tak pernah kulihat sebelumnya. Beberapa pengunjung Da'Pasta juga mengumpat agar tempat ini dibuka kembali, karena yang kulihat sekarang adalah pria-pria gempal yang biasanya ada di belakang Dom sekarang sedang menempelkan stiker besar di pintu Da'Pasta yang bertuliskan besar-besar: "TEMPAT INI TELAH DISITA"
"Kalia." Kak Fiki menatapku sembari beranjak menghampiriku.
Tempat ini tak mungkin ditutup. TIDAK MUNGKIN! Aku baru saja di sini kemarin. Aku mencintai tempat ini. Dom berjanji tidak akan menutup tempat ini. Aku menatap kak Fiki. Air mata membendung di mataku, wajahku serasa panas.
Kak Fiki mengerti. Tentu saja ia mengerti. Ia mengerti aku. Ia kakakku. Ia tahu sebesar apa cintaku pada tempat ini. Dan oleh karena itu, aku tak heran ketika ia segera menghampiriku dan memelukku penuh kasih sayang saat aku menangis.
"Kenapa, Kak? Apa yang terjadi?"
"Orang-orang itu datang begitu saja dan bilang bahwa tempat ini ditutup, Kal.
Tenang aja, kakak bakal cari tempat kerja baru. Kamu pasti suka di sana."
Tempat yang baru, sebagus apapun itu, tak akan sama. Tak akan sama dengan memori yang berada di tempat ini.
Dan di tengah kerumunan, aku melihatnya. Aku melihatnya berjalan menghampiriku di tengah kerumunan, dengan tatapan yang datar dan wajah yang dingin.
Tapi aku segera berlari sebelum ia sempat mendekat.
?? ? ??
Aku langsung pulang, dan mengunci diri di kamarku. Beberapa kali orangtuaku dan Kak Fiki berusaha membujukku untuk keluar, tapi itu tak terjadi. Itu semua karena aku tidak bisa. Aku tidak tahan. Aku dikhianati. Aku tak percaya aku jatuh cinta pada Dom, si pembohong yang berkuasa untuk menutup salah satu tempat paling laku di kotaku ini. Aku marah, aku sedih. Apa yang akan terjadi pada orang-orang yang kusayangi di sana? Terutama Kak Fiki, Om Muntoro, dan Mbok Ijah? Bagaimana mereka bisa mencari tempat yang akan menerima mereka sebaik Da'Pasta serta suasana kekeluargaannya?
Menangis, hingga suara ibuku berseru dari luar kamar, meneriakkan sesuatu yang paling tak ingin kudengar malam ini. Tapi, toh, aku keluar juga, dan menghadapi orang paling tak ingin kutemui malam ini. Mereka meninggalkan kami di ruang tamu, berdua, dimana orangtuaku yakin kami harus bicara. Mereka tak mengenal Dom, hanya kakakku yang kenal. Sialnya, kakakku meyakinkan kedua orangtuaku bahwa Dom bukan orang yang berbahaya.
Diawali dengan kesunyian, ia memulai, "Aku harus menjelaskan sesuatu, Kal."
"Apa?"
"Bukan aku yang nutup restorannya. Itu Papaku. Percayalah padaku."
"Tapi kamu bisa menghentikan itu. Kamu bilang kamu mau berusaha, Dom.
Kamu bohong. Jangan-jangan kamu bohong juga tentang kemarin malam."
Ia diam beberapa saat, memberi jeda cukup lama bagi momen penuh kesunyian.
Aku tak percaya saat ia beranjak berdiri dari kursinya, dan beranjak ke sisiku.
"Tapi aku sudah mendapatkan warisan. Aku tahu ini enggak seberapa, tapi aku
udah bilang ke bos Da'Pasta, dan dia setuju. Aku sudah mencarikan tempat baru untuk Da'Pasta. Enggak besar, sih, tapi itulah yang bisa kuberikan."
Aku masih memalingkan muka. "Kenapa kamu lakukan itu? Apa urusanmu?"
Ia mendesah. "Kalia, kamulah satu-satunya alasan kenapa aku datang ke restoran itu. Aku udah suka kamu sejak dulu, sejak kamu masih SMP. Sekolah kita berseberangan, dan aku sering ngeliatin kamu. Lalu aku tahu kakakmu kerja di Da'Pasta dan kamu sering di situ. Butuh bertahun-tahun, tapi akhirnya aku bisa mengumpulkan beranian buat datengin tempat itu dan ketemu kamu. Kamu cinta pertamaku." Ia menggigit bibir malu setelah itu. "Karena itu setiap malam, tepat pukul dua belas malam, aku akan selalu datang dan memesan sebuah Beef Fettuccini, yang sudah jadi makanan kesukaanmu buat kamu bawa jadi bekal semenjak SMP, semenjak aku tahu kamu."
Ia mengeluarkan sesuatu dari ranselnya, sebuah kotak makan lagi, dan membukanya.
Kali ini, di dalam kotak itu ada Beef Fettuccini lagi. "Kamulah satu-satunya alasan aku untuk makan ini. Aku makan Beef Fettuccini, karena aku cinta kamu."
?
(Oleh: Lauren Karina, foto: weheartit.com)
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR