Kakakku mengangkat bahu. Memikirkan Da'Pasta ditutup langsung membuatku menginjakkan kaki keluar dan mengayuh sepedaku cepat-cepat kembali ke restoran itu untuk bertanya kepada Om Muntoro. Itu tidak boleh terjadi!
Ternyata, Om Muntoro mengecewakanku. Beliau hanya menatapku sendu dan berkata,
"Ya, bisa aja terjadi."
"Enggak bisa gitu, dong!" tukasku. "Restoran ini, kan, laku banget! Masa bisa ditutup begitu aja? Emangnya bos resto ini punya hutang apaan?"
Om Muntoro menggiringku menjauh dari kerumunan, kemudian membungkuk, dan berbisik. "Ini bukan masalah hutang."
"Hah? Terus?"
"Anaknya Rudli Harfano itu punya hak penuh atas kompleks ini. Dia bisa rubuhin tempat ini sesukanya. Dan rencananya, anak itu bakal ganti tempat ini untuk peluang usaha yang lebih menguntungkan. Mau dijadiin mal."
"Apaaa?" seruku. Itu benar-benar tidak adil. Masa hak kepemilikan bisa direbut semudah itu, sih?
"Bos kita itu cuma ngontrak di sini. Dia nggak punya tempat ini secara permanen," lanjut Om Muntoro.
"Oh, kalo gitu kita harus cari cara supaya cowok itu enggak menutup tempat ini!"
"Gimana caranya?" Om Muntoro tampak benar-benar tidak percaya padaku, si cewek kelas dua SMA ini.
Jujur saja, aku sendiri tidak tahu.
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR