? ? ? ? ?
Kak Fiki pulang ke rumah pukul empat subuh, padahal setahuku restoran sudah tutup pukul dua. Setelahnya kakakku itu mengurung diri di kamarnya. Ia bahkan bolos kuliah hari itu. Tapi di sore hari Sabtu yang cerah ini, ia akhirnya keluar juga dari kamarnya, memasak mie instan untuk dirinya sendiri, dan menemani diriku yang sedang mengerjakan PR ku di meja makan.
"Enggak ke resto?"
Aku menggeleng. "Kan Kakak enggak masuk."
Ia tampak bingung. "Lho, tapi biasanya kamu tetep dateng. Om Muntoro bahkan udah pertimbangin buat bayar kamu lho, Kal. Kakak denger dia ngobrol sama atasannya bahwa kamu itu udah bantuin di restoran banyak banget selama tiga tahun ini. Lumayan, kan, dapet penghasilan. Daripada nemenin kakak terus di resto tapi enggak dapet apa-apa."
Aku tak menjawab. Akhirnya, sunyi. Aku terlalu sibuk dengan PRku dan dia sedang makan.
"Inget cowok yang tadi malem itu? Yang dateng tengah malem sama bodyguard-nya?"
Aku menatap kakakku. Aku memang agak penasaran tentang yang satu itu.
"Dia itu anaknya Rudli Harfano. Itu, lho, yang punya kawasan sana."
"Orang kaya, ya? Pantesan sombong."
"Iya. Kata Om Muntoro, bosnya Da'Pasta lagi kelilit utang dan restonya nyaris ditutup. Makanya anak itu kemaren seenaknya aja masuk."
"Tapi, D'Pasta enggak akan ditutup, kan?" Aku melongo, membayangkan Da'Pasta, serta orang-orangnya yang begitu ramah padaku. Kami bukan hanya para pekerja. Kami adalah sebuah keluarga. Termasuk aku, yang bahkan bukan pekerja resmi di sana.
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR