Pandangannya lepas dariku begitu aku beranjak menujunya. Entah mengapa ia memalingkan muka.
"Aku...mau ngomong." Kurang formalkah kalimatku?
Jemarinya bergetar di atas meja sehingga ia menurunkannya. Perlahan matanya berputar, dan ia menatapku dengan pandangan yang tak pernah kulihat darinya sebelumnya. Kegugupan. Tak ada lagi si cowok sombong, hanya cowok gugup yang takut.
"Ngomong?" Ini pertama kalinya aku mendengarnya bicara tanpa nada suaranya yang kasar itu. "Ngomongin apa?"
"Tentang penutupan restoran ini," lanjutku.
"Duduk," ujarnya, menunjuk kepada kursi di seberangnya. Aku pun duduk.
Tapi tak satup un dari kami berani menatap satu sama lain.
"Menutup restoran ini? Apa hubungannya denganmu? Kamu bahkan bukan staf di sini."
"Iya. Tapi tempat ini cukup berarti bagiku," kataku sejujur-jujurnya. Aku masih tak bisa menatapnya.
Ia terkekeh. "Siapa namamu, sih? Kamu bukan staf, bukan pengunjung. Kamu enggak pernah beli apa pun di sini, tapi kamu di sini tiap hari."
"Kamu juga. Kamu bukan staf, kamu juga bukan pengunjung biasa. Dan kamu cuma beli satu menu di sini selama satu bulan penuh setiap jam dua belas malam."
"Itu karena aku adalah atasan bos restoran ini," tukasnya dingin. "Jawab pertanyaanku, dong."
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR