Aku mengayuh sepeda ontelku yang merah butut, mengarungi ruteku yang biasa sepulang sekolah, memarkir sepedaku itu di ruko Pak Handi, seorang pria empatpuluhan pengusaha bengkel mobil yang merupakan teman setia ayahku. Kusapa beliau yang tengah sibuk di balik meja kasir memarahi pegawainya, dan berlari sambil menenteng tasku ke arah tempat favoritku: sebuah rumah makan bernuansa Eropa dengan desain interior yang terdiri dari mayoritas palet warna kalem khas alam yang selalu menebarkan aroma lasagna sedap ke sekitarnya. Nama restoran itu adalah Da'Pasta, satu-satunya tempat di dunia ini dimana aku bisa menjadi diriku sendiri dan bersenang-senang dengan nasibku tanpa diganggu.
"Kak Ruti!" sapaku, menarik-narik celemek dari Kak Ruti yang berseragam lengkap layaknya pegawai Da'Pasta lainnya, kemeja putih berlengan kembung yang dilapisi rompi tak berlengan merah marun. Kak Ruti tersenyum menatapku saat aku mengulurkan tangan. Ia mendesah lega dan menyerahkan nampan berisi piring kotor kepadaku. Dari peluh di keningnya, sudah kuduga ia lelah melayani para pembeli. Maklumlah, sedari dulu aku Da'Pasta ini memang laris manis di kotaku.
Sebelum Kak Ruti sempat bicara, seorang pelanggan langsung memanggilnya dengan gusar. Aku mengangguk dan kami berpisah dari sana. Dengan kakiku yang panjang dan kurus, aku melangkah cepat dan tangkas menuju dapur.
"Met sore, Mbok Ijah!" sapaku sambil meletakkan nampan beserta piring kotor itu di samping Mbok Ijah, si tukang cuci piring profesional Da'Pasta yang berperawakan gemuk, berumur tiga puluh lima, dan beranak kembar dua cowok enam tahun yang setiap hari Minggu ikut dibawanya kerja dan selalu berhasil membuatku naik darah. Mbok Ijah tersenyum ramah padaku, seperti biasanya, mengusap peluh di dahinya, kemudian kembali membenamkan kedua tangannya di rendaman air cuci piring yang berbusa putih bersih.
"Baru pulang sekolah,dek?" tanyanya ramah, senyumnya lebar seperti biasa. Maklumlah, ia pasti bahagia karena semenjak ada aku, selalu ada yang menjaga si kembar mengesalkan itu.
"Si Mbok tahu aja, nih." Aku tertawa kecil. "Kak Fiki mana, nih?"
Ia mengangkat dagu untuk menunjuk. Aku berbalik, dan segera berlari kepada sesosok pemuda yang sudah memiliki predikat sebagai pegawai terimut di Da'Pasta dan terkenal juga sebagai pematah hati nomor satu di Yogyakarta, kotaku yang tercinta. Kak Fiki, alis kakakku, sedang sibuk membolak balik pancake di atas teflon dengan tangan kiri, menumis bumbu untuk salah satu menu macaroninya dengan tangan kanan. Ia sesekali membetulkan topi putih tinggi yang sangat pas untuk dipakainya, seragam putih berlengan panjangnya digulung sampai ke sikut. Celemeknya yang kotor bernoda kemerahan segar berbau tomat.
"Sibuk, kak?" godaku.
"Adek kurang ajar. Orang lagi susah bukannya dibantu, malah diketawain. Sana tuh, bantuin cincangin bawang." Yap, Kak Fiki adalah kakak kandungku yang sekarang sudah berumur dua puluh satu. Karena gaji orangtuaku yang pas-pasan, ia bekerja menjadi chef sebagai pekerjaan sampingan demi membiayai kuliahnya di bidang kedokteran di UGM. Keren, ya? Kakakku ini memang sangat pintar, sehingga bisa mendapatkan beasiswa. Tapi karena keketatan ekonomi keluargaku, bahkan dengan beasiswa pun, kuliah Kak Fiki masih tergolong begitu mahal.
"Iya, iya." Aku beranjak untuk mencincang bawang-bawang di sisinya. Chef-chef lain menyapaku, seperti biasa. Aku memang cukup populer sebagai tenaga tambahan tanpa bayaran di sini.
? ? ??
Saat malam turun, Da' Pasta menjadi semakin ramai. Bahkan, mencapai puncaknya pada pukul sepuluh malam. Jam setengah dua belas, tempat ini kian menyepi, dan karena hari ekstrim ini, bahkan pelayan pekerja keras seperti Kak Ruti pun minta izin pulang. Om Muntoro, si manajer, juga membolehkan. Sementara sisa pelanggan tinggal sekitar dua puluh meja, para pekerja tinggal tersisa lima orang. Kak Fiki dan Kak Rusli, para chef yang sama-sama masih kuliah dan rela bekerja sampai larut demi bonus gaji di akhir bulan, Om Muntoro si manajer yang beralih profesi sebagai pengelap meja karena para pegawainya sudah pulang semua, Kak Latika, satu-satunya pelayan yang tersisa dan membantu Om Muntoro mengelap meja, begitu juga Mbok Ijah. Aku, yang tadinya hanya tengok kanan kiri tanpa kesibukan apa pun, akhirnya ikut juga membantu mereka membersihkan meja-meja yang jumlahnya sekitar tiga puluhan ini. Maklumlah, Da'Pasta memang cukup besar. Chef-nya juga lebih dari dua belas orang.
"Kamu kenapa belum pulang, Nak?" tanya Om Muntoro dengan kening berkerut saat menatapku yang sibuk menyapu lantai masih dengan seragam putih abu-abu lengkap dengan atribut, bahkan dasinya.
Aku hanya senyam-senyum. "Nungguin Kak Fiki pulang, Om."
Dia mengalihkan tatapan pada kakakku dengan tatapan galak. Pasti dikiranya Kak Fiki memaksaku menemaninya sampai selarut ini.
"Udah kusuruh pulang, kok!" kakakku membela diri lengkap dengan tanda 'peace' dua jari oleh tangan kanannya. Kepalanya menyembul keluar dari lubang persegi panjang di dinding yang menjadi akses udara dari luar dapur ke dalamnya, begitu juga sebaliknya. "Dianya aja, tuh, agak rese, Om!"
"Kamu ini." Om Muntoro geleng-geleng kepala sendiri.
"Aku mau bantu-bantu aja, Om," ujarku.
"Ya, udah. Selesaikan meja ini, ya." Ia menatapku bersyukur. "Tapi habis itu harus pulang, lho. Nanti kalo orangtuamu marah, yang disalahin kan saya." Ia pun meninggalkanku dan kembali fokus mengelap meja-meja lain.
Tepat saat itu, pintu mendadak dibuka dengan suara keras, mengagetkan baik tamu, maupun staf yang tersisa. Begitu juga aku. Di baliknya, seorang cowok tinggi bertubuh atletis berisi muncul, mengenakan pakaian berupa jaket, jeans gelap, kacamata hitam, jam Rolex yang berkilau, serta sepatu basket Nike hitam. Saat ia berjalan masuk, dua orang pria gempal yang juga berkacamata dan berpakaian serba hitam mengikuti di belakangnya. Ia berjalan tegak, tegap, percaya diri.
"Maaf, restorannya mau tu-"
"Satu porsi Fettuccini. Beef, enggak pake lama. Kasih sekarang ke gue atau gue tutup restoran ini besok."
Seenaknya sekali cowok itu. Memotong perkataan Om Muntoro begitu saja. Tiba-tiba saja aku menjadi kesal padanya. Kesombongannya. Terutama ketika dia langsung duduk seenaknya di meja yang kosong, para penjaganya berdiri di sisinya dengan setia.
Tapi, aku tak mengatakan apa pun. Begitu selesai dengan meja yang kubersihkan, aku langsung pamit kepada kakakku yang sudah kepayahan, dan beranjak pulang.
? ? ? ? ?
Kak Fiki pulang ke rumah pukul empat subuh, padahal setahuku restoran sudah tutup pukul dua. Setelahnya kakakku itu mengurung diri di kamarnya. Ia bahkan bolos kuliah hari itu. Tapi di sore hari Sabtu yang cerah ini, ia akhirnya keluar juga dari kamarnya, memasak mie instan untuk dirinya sendiri, dan menemani diriku yang sedang mengerjakan PR ku di meja makan.
"Enggak ke resto?"
Aku menggeleng. "Kan Kakak enggak masuk."
Ia tampak bingung. "Lho, tapi biasanya kamu tetep dateng. Om Muntoro bahkan udah pertimbangin buat bayar kamu lho, Kal. Kakak denger dia ngobrol sama atasannya bahwa kamu itu udah bantuin di restoran banyak banget selama tiga tahun ini. Lumayan, kan, dapet penghasilan. Daripada nemenin kakak terus di resto tapi enggak dapet apa-apa."
Aku tak menjawab. Akhirnya, sunyi. Aku terlalu sibuk dengan PRku dan dia sedang makan.
"Inget cowok yang tadi malem itu? Yang dateng tengah malem sama bodyguard-nya?"
Aku menatap kakakku. Aku memang agak penasaran tentang yang satu itu.
"Dia itu anaknya Rudli Harfano. Itu, lho, yang punya kawasan sana."
"Orang kaya, ya? Pantesan sombong."
"Iya. Kata Om Muntoro, bosnya Da'Pasta lagi kelilit utang dan restonya nyaris ditutup. Makanya anak itu kemaren seenaknya aja masuk."
"Tapi, D'Pasta enggak akan ditutup, kan?" Aku melongo, membayangkan Da'Pasta, serta orang-orangnya yang begitu ramah padaku. Kami bukan hanya para pekerja. Kami adalah sebuah keluarga. Termasuk aku, yang bahkan bukan pekerja resmi di sana.
Kakakku mengangkat bahu. Memikirkan Da'Pasta ditutup langsung membuatku menginjakkan kaki keluar dan mengayuh sepedaku cepat-cepat kembali ke restoran itu untuk bertanya kepada Om Muntoro. Itu tidak boleh terjadi!
Ternyata, Om Muntoro mengecewakanku. Beliau hanya menatapku sendu dan berkata,
"Ya, bisa aja terjadi."
"Enggak bisa gitu, dong!" tukasku. "Restoran ini, kan, laku banget! Masa bisa ditutup begitu aja? Emangnya bos resto ini punya hutang apaan?"
Om Muntoro menggiringku menjauh dari kerumunan, kemudian membungkuk, dan berbisik. "Ini bukan masalah hutang."
"Hah? Terus?"
"Anaknya Rudli Harfano itu punya hak penuh atas kompleks ini. Dia bisa rubuhin tempat ini sesukanya. Dan rencananya, anak itu bakal ganti tempat ini untuk peluang usaha yang lebih menguntungkan. Mau dijadiin mal."
"Apaaa?" seruku. Itu benar-benar tidak adil. Masa hak kepemilikan bisa direbut semudah itu, sih?
"Bos kita itu cuma ngontrak di sini. Dia nggak punya tempat ini secara permanen," lanjut Om Muntoro.
"Oh, kalo gitu kita harus cari cara supaya cowok itu enggak menutup tempat ini!"
"Gimana caranya?" Om Muntoro tampak benar-benar tidak percaya padaku, si cewek kelas dua SMA ini.
Jujur saja, aku sendiri tidak tahu.
? ? ? ? ?
Entah bagaimana caranya, aku tahu ia akan datang lagi. Hanya sebuah firasat tipis, tapi akhirnya jadi kenyataan yang sungguh tak bisa dipercaya ketika aku dan beberapa pelayan lain sibuk mengelap meja. Dan seperti kemarin, tepat pukul dua belas malam, pintu lebar itu terbuka lagi, dihantam keras ke dinding, dan cowok itu kembali masuk sambil berteriak kasar, "Satu porsi Fettuccini. Beef, enggak pake lama. Kasih sekarang ke gue atau gue tutup restoran ini besok." Namun kali ini, ia datang sendirian, tanpa kacamata hitamnya, dan berpakaian seperti sehabis pulang dari pesta. Sambil berjalan, ia melepaskan blazer dan dasi hitamnya, meletakkannya di atas meja sembarangan.
Aku harus mencari cara agar cowok kaya itu tidak menutup tempat ini. Tapi, bagaimana caranya? Aku ingin mendekat, tapi jantungku serasa berdebar. Aku takut. Aku sungguh takut. Bagaimana kalau aku salah bicara? Bagaimana kalau cowok itu mendadak benci padaku dan langsung menutup tempat ini? Ini pikiran gila, tapi ini semua mungkin saja terjadi.
"Deh, orangnya ganteng, lho," goda Mbok Ijah yang sedang mencuci piring, mengintip dari lubang persegi panjang di dinding.
Aku menoleh pada cowok itu. Benarkah perkataan Mbok Ijah?
Baru setelah aku menatapnya, aku kembali berpaling.
Karena dia juga sedang menatapku. Dalam arti benar-benar menatapku. Tiba-tiba saja aku merasa tidak nyaman.
"Om Muntoro." Aku menghampiri sang manajer. "Aku...pulang dulu ya."
Dan mau tahu yang terjadi selanjutnya? Hal ini terjadi berkali-kali. Aku akan bekerja sampai larut malam, dan tepat pukul dua belas malam cowok yang tak kuketahui namanya itu akan datang sambil menghantam pintu, dan dengan kasar meneriakkan kata-kata yang sama seperti hari sebelumnya. Setelah itu ia akan menatapku lama sekali sampai aku menoleh padanya karena penasaran, kemudian aku akan langsung pulang dengan bodohnya sambil bersikap seperti orang tidak bersalah.
Semuanya terjadi berulang-ulang, terus-menerus, sampai hari ini. Perbedaannya, hari ini aku telah membulatkan tekadku, membetulkan niatku. Aku akan datang padanya, dan bicara dengannya hari ini, karena semalam Pak Muntoro pun sudah mengatakan padaku serta staf-staf lain bahwa hanya masalah waktu sebelum tempat ini diambil sepenuhnya oleh cowok itu. Oleh karena itu, aku menghabiskan seharian membantu di dapur bersama Mbok Ijah sambil berusaha mengontrol si kembar yang liar sekali. Yap, ini hari Minggu.
Dan tepat pada pukul dua belas malam, ia melangkahkan kakinya lagi dengan kasar dan penuh harga diri di restoran pasta ini, meneriakkan kata-kata yang sama seperti biasanya, memesan seporsi Beef Fettuccini, dan beranjak duduk, kemudian menatapku.
Aku menelan ludah. Ini saatnya. Ini saatnya. Aku pun berjalan takut-takut menuju dirinya, menuju pemuda tinggi yang hari ini muncul dengan jaket mahal serta Rolex-nya lagi yang sedang menunggu.
Pandangannya lepas dariku begitu aku beranjak menujunya. Entah mengapa ia memalingkan muka.
"Aku...mau ngomong." Kurang formalkah kalimatku?
Jemarinya bergetar di atas meja sehingga ia menurunkannya. Perlahan matanya berputar, dan ia menatapku dengan pandangan yang tak pernah kulihat darinya sebelumnya. Kegugupan. Tak ada lagi si cowok sombong, hanya cowok gugup yang takut.
"Ngomong?" Ini pertama kalinya aku mendengarnya bicara tanpa nada suaranya yang kasar itu. "Ngomongin apa?"
"Tentang penutupan restoran ini," lanjutku.
"Duduk," ujarnya, menunjuk kepada kursi di seberangnya. Aku pun duduk.
Tapi tak satup un dari kami berani menatap satu sama lain.
"Menutup restoran ini? Apa hubungannya denganmu? Kamu bahkan bukan staf di sini."
"Iya. Tapi tempat ini cukup berarti bagiku," kataku sejujur-jujurnya. Aku masih tak bisa menatapnya.
Ia terkekeh. "Siapa namamu, sih? Kamu bukan staf, bukan pengunjung. Kamu enggak pernah beli apa pun di sini, tapi kamu di sini tiap hari."
"Kamu juga. Kamu bukan staf, kamu juga bukan pengunjung biasa. Dan kamu cuma beli satu menu di sini selama satu bulan penuh setiap jam dua belas malam."
"Itu karena aku adalah atasan bos restoran ini," tukasnya dingin. "Jawab pertanyaanku, dong."
"Namaku Kalia. Kamu?"
"Dom," ucapnya singkat, mengatupkan mulutnya lagi.
Sekali lagi, kami dilanda kesunyian.
"Kakakmu koki itu, ya?" Ia akhirnya memecah keheningan.
"Mm...iya. Kok bisa tahu?"
Ia tersenyum malu, kembali memalingkan muka. "Tahu aja."
Ayolah. Fokuslah kembali ke topik awal. "Kenapa kamu mau nutup tempat ini?"
"Apa urusanmu, sih?" dengusnya. "Kakakmu bisa aja dapet kerjaan baru lagi."
"Bisa kamu usahain supaya tempat ini enggak ditutup?"
"Mungkin. Akan kuusahakan." Ia mengangkat bahu.
Aku tersenyum. Tersenyum penuh akan kepuasan. Kebahagiaan. "Benarkah?"
"Iya," angguknya. "Semoga aja bisa."
Pada senyumnya untuk kesekian kalinya malam itu, aku segera saja tahu, sebuah lembaran cerita baru telah dimulai untuk kami.
? ? ?
Dom tidaklah sesombong yang kukira. Ia adalah cowok yang baik dan sopan, yang belajar untuk membiasakan diri pada duniaku. Entah mengapa. Duniaku yang sempit dan miskin ini, bertubrukan dengan dunianya yang bergelimang kekayaan, kemudahan, kebahagiaan. Setidaknya kupikir begitu. Padahal Dom yang sedang kuliah semester satu ini mengatakan dengan jelas bahwa ia tak menyukai kekayaan. Ia ingin berubah, dan keluarganya bukanlah sebuah tempat bahagia. Sebaliknya ia merasa kagum padaku, aku dan kehidupanku. Darimana aku tahu semua itu? Aku tahu karena pada suatu hari di hari Senin, ia datang pukul tiga sore ke Da'Pasta, dan mengajakku pergi, berkeliling kota Jogja yang tak asing, menikmati pemandangan, mengunjungi keraton dimana ia berbagi cerita bersamaku, hingga pada akhirnya berjalan kaki di Malioboro yang penuh corak warna di langit malam.
Hal ini berlangsung terus-menerus, dan pada hari keempat, pada pukul dua belas malam di tengah Malioboro, aku menyadari sesuatu terjadi padaku. Di tempat ini, di tempat ia membawaku sekarang, Malioboro, aku mengalami sebuah perasaan yang mendalam. Sebuah keinginan, untuk tak jauh darinya. Sebuah kebahagiaan, untuk berada di sisinya dan mendengar tawanya. Sebuah sensasi baru, untuk bicara padanya dan berbagi cerita hidupku yang bagai langit dan bumi dibandingkan hidupnya. Di hari keempat ini, kami duduk di kursi panjang besi di pinggir jalan, memandang cahaya-cahaya ini. Bukan cahaya spesial, tapi entah kenapa hari ini terasa begitu spesial.
Di hari ini, aku untuk pertama kalinya melihatnya mengeluarkan sebuah kotak makan, membukanya,dan di dalamnya ada seporsi Beef Fettuccini yang telah dihiasi saus yang dibentuk hingga tampak bertuliskan: I LOVE YOU.
Dom tersenyum padaku,senyum lebar, sementara matanya yang jernih menatapku lekat.
Aku balas menatapnya, menggigit bibir dan jantung berpacu saat aku mengatakan hal yang sama padanya.
Pada malam itu, aku menyadari sesuatu. Aku menyadari cinta. Cinta pertamaku, yang hadir bersama seporsi fettuccini yang dihidangkan pukul dua belas malam tepat. Fettuccini tengah malam.
? ? ?
Seperti biasa, pada pukul tiga sore sepulang sekolah pada hari Jumat ini, aku menitipkan sepeda bututku di ruko Pak Handi, dan segera berlari ke Da'Pasta. Tapi kakiku segera berhenti melangkah. Aku melihat kakakku, matanya tampak sedih, beserta para chef lain, juga para pelayan, Mbok Ijah, Om Muntoro yang tampak sangat putus asa, beserta pria-pria lain bertampang eksekutif yang tak pernah kulihat sebelumnya. Beberapa pengunjung Da'Pasta juga mengumpat agar tempat ini dibuka kembali, karena yang kulihat sekarang adalah pria-pria gempal yang biasanya ada di belakang Dom sekarang sedang menempelkan stiker besar di pintu Da'Pasta yang bertuliskan besar-besar: "TEMPAT INI TELAH DISITA"
"Kalia." Kak Fiki menatapku sembari beranjak menghampiriku.
Tempat ini tak mungkin ditutup. TIDAK MUNGKIN! Aku baru saja di sini kemarin. Aku mencintai tempat ini. Dom berjanji tidak akan menutup tempat ini. Aku menatap kak Fiki. Air mata membendung di mataku, wajahku serasa panas.
Kak Fiki mengerti. Tentu saja ia mengerti. Ia mengerti aku. Ia kakakku. Ia tahu sebesar apa cintaku pada tempat ini. Dan oleh karena itu, aku tak heran ketika ia segera menghampiriku dan memelukku penuh kasih sayang saat aku menangis.
"Kenapa, Kak? Apa yang terjadi?"
"Orang-orang itu datang begitu saja dan bilang bahwa tempat ini ditutup, Kal.
Tenang aja, kakak bakal cari tempat kerja baru. Kamu pasti suka di sana."
Tempat yang baru, sebagus apapun itu, tak akan sama. Tak akan sama dengan memori yang berada di tempat ini.
Dan di tengah kerumunan, aku melihatnya. Aku melihatnya berjalan menghampiriku di tengah kerumunan, dengan tatapan yang datar dan wajah yang dingin.
Tapi aku segera berlari sebelum ia sempat mendekat.
?? ? ??
Aku langsung pulang, dan mengunci diri di kamarku. Beberapa kali orangtuaku dan Kak Fiki berusaha membujukku untuk keluar, tapi itu tak terjadi. Itu semua karena aku tidak bisa. Aku tidak tahan. Aku dikhianati. Aku tak percaya aku jatuh cinta pada Dom, si pembohong yang berkuasa untuk menutup salah satu tempat paling laku di kotaku ini. Aku marah, aku sedih. Apa yang akan terjadi pada orang-orang yang kusayangi di sana? Terutama Kak Fiki, Om Muntoro, dan Mbok Ijah? Bagaimana mereka bisa mencari tempat yang akan menerima mereka sebaik Da'Pasta serta suasana kekeluargaannya?
Menangis, hingga suara ibuku berseru dari luar kamar, meneriakkan sesuatu yang paling tak ingin kudengar malam ini. Tapi, toh, aku keluar juga, dan menghadapi orang paling tak ingin kutemui malam ini. Mereka meninggalkan kami di ruang tamu, berdua, dimana orangtuaku yakin kami harus bicara. Mereka tak mengenal Dom, hanya kakakku yang kenal. Sialnya, kakakku meyakinkan kedua orangtuaku bahwa Dom bukan orang yang berbahaya.
Diawali dengan kesunyian, ia memulai, "Aku harus menjelaskan sesuatu, Kal."
"Apa?"
"Bukan aku yang nutup restorannya. Itu Papaku. Percayalah padaku."
"Tapi kamu bisa menghentikan itu. Kamu bilang kamu mau berusaha, Dom.
Kamu bohong. Jangan-jangan kamu bohong juga tentang kemarin malam."
Ia diam beberapa saat, memberi jeda cukup lama bagi momen penuh kesunyian.
Aku tak percaya saat ia beranjak berdiri dari kursinya, dan beranjak ke sisiku.
"Tapi aku sudah mendapatkan warisan. Aku tahu ini enggak seberapa, tapi aku
udah bilang ke bos Da'Pasta, dan dia setuju. Aku sudah mencarikan tempat baru untuk Da'Pasta. Enggak besar, sih, tapi itulah yang bisa kuberikan."
Aku masih memalingkan muka. "Kenapa kamu lakukan itu? Apa urusanmu?"
Ia mendesah. "Kalia, kamulah satu-satunya alasan kenapa aku datang ke restoran itu. Aku udah suka kamu sejak dulu, sejak kamu masih SMP. Sekolah kita berseberangan, dan aku sering ngeliatin kamu. Lalu aku tahu kakakmu kerja di Da'Pasta dan kamu sering di situ. Butuh bertahun-tahun, tapi akhirnya aku bisa mengumpulkan beranian buat datengin tempat itu dan ketemu kamu. Kamu cinta pertamaku." Ia menggigit bibir malu setelah itu. "Karena itu setiap malam, tepat pukul dua belas malam, aku akan selalu datang dan memesan sebuah Beef Fettuccini, yang sudah jadi makanan kesukaanmu buat kamu bawa jadi bekal semenjak SMP, semenjak aku tahu kamu."
Ia mengeluarkan sesuatu dari ranselnya, sebuah kotak makan lagi, dan membukanya.
Kali ini, di dalam kotak itu ada Beef Fettuccini lagi. "Kamulah satu-satunya alasan aku untuk makan ini. Aku makan Beef Fettuccini, karena aku cinta kamu."
?
(Oleh: Lauren Karina, foto: weheartit.com)
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR