Bagaimana mungkin aku melupakan Puss segampang itu setelah hari-hari indah selama dua tahun yang kulewati bersamanya? Puss memang enggak bisa berkata, tapi dia pendengar yang baik. Puss memang tidak mengerti fashion, tapi dia mengerti aku. Puss sahabat yang terlalu baik, yang selalu ada saat kubutuhkan.
'Tok... tok...' Terdengar ketukan pintu dari luar kamarku.
Muncullah Veronica, Livia, William, Jojo, dan Ben dari bilik pintu yang masih mengenakan seragam sekolah lengkap. Aku tak menyangka mereka akan datang.
"Hay, Tan! Gimana kabar lo?" tanya Jojo yang kaku sekali, membuatku sedikit ingin tertawa.
"Begitulah, Jo," kututup laptopku.
"Gue denger dari nyokap lo, Puss meninggal tertabrak, ya?" tanya Livia hati-hati.
Aku mengangguk.
"Kita turut sedih ya, Tan," ujar Ben penuh prihatin. "Kasian Puss."
"Jangan murung-murung mulu dong, Tan. Puss nanti sedih, lho, liat kamu begini," hibur William basi sekali. Langsung kutoyor kepalanya, berhasil membuatku nyengir untuk hari ini.
One thing, I realize. They're like Puss. Mereka mungkin bukan penasehat yang baik tapi pendengar yang baik, yang selalu ada untukku. Mereka tidak mengerti fashion, tapi mengerti aku.
Aku sadar, bahwa sahabat tidak harus memiliki hobi yang sama. Yang terpenting adalah solidaritas. Kita beda, tapi tetap satu. Selalu mendukung satu sama lain. Tertawa bersama, menangis bersama. Mereka bukan orang yang sempurna, tapi persahabatan kami sempurna.
"Oh ya, gue minta maaf ya sama kalian," ujarku sambil menunduk.
"Kenapa?" tanya Veronica.
"Sebenernya, Puss ngga sakit kemarin," jawabku jujur. Dan mereka terkaget. "Mungkin gue kualat ngomong Puss sakit waktu itu. Dan sekarang Puss beneran mati."
"Udah, Tan. Enggak apa-apa kok," Livia mulai mengusap lembut pundakku.
Ya, mereka memang sahabat sejati.
(oleh: shinly fransisca, foto: weheartit.com)
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR