Dear diari,
Ingin sekali aku terjun ke balik dunia kelam ini. Tiap hari kerjanya aku harus memencet stut piano itu. Apa enggak tambah bengkak jariku nanti? Yap, penggila musik! Itu keluargaku. Sehari enggak main musik buat mereka kayak mau gila saja. Mereka bilang, musik itu penting. Mereka juga bilang aku abnormal kalau enggak suka main musik. Ya jelas engga sukalah, kalau setiap hari disuruh mainin terus...Huh! Pliz deh! Ada enggak sih yang ngerti aku?
Mereka semua abnormal di mataku A-b-n-o-r-m-a-l.. Kenapa aku harus lahir di keluarga ini sih? Jadi anak tengah yang tertekan oleh dua saudara yang kesehariannya ngejek aku terus Hmm...cape deh. Oke, mungkin udah ke beratus-ratus kali aku mengeluh soal keluargaku...
=( MELODY
Melody menutup diari kecilnya. Cuma itu satu-satunya sarana, tempat ia mencurahkan segala uneg-uneg dan kegilaannya. Melody memandangi foto keluarganya yang terpampang jelas di atas meja belajarnya.
"Hhh... Gue mirip kok sama Papa Mama, tapi kok gue telmi banget soal musik?" pertanyaan itu selalu memenuhi pikiran Melody.
Melody mengeryitkan dahinya. Disimpan foto itu dilaci mejanya. Hari ini enam kali mengulang kesalahan, dan omelan Sance masih terngiang di telinganya.
"Melody! Dipanggil Mama, tuh!" tiba-tiba kakaknya berteriak.
Melody langsung turun ke bawah menghampiri mamanya di ruang tamu. Di ruang itu, semua anggota keluarga berkumpul, lengkap. Ada Mama, Papa, Kakak perempuan dan adik laki-laki Melody. Melody duduk di salah satu sofa. Keheningan ruangan itu membuatnya agak takut.
"Kenapa, Ma?" tanya penasaran.
"Mel, Mama hanya ingin memberitahu kamu," wanita setengah baya itu membuka pembicaraan." Mama sudah mendapat hasil belajar kamu dari Sance."
Melody merasakan sesuatu tersembul dari dalam dirinya. Melody berharap kalau Sance bilang dia sudah pintar, mungkin dia bisa dibebaskan dari latihan yang melelahkan itu.
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR