Pangeran dan Dua Puluh Pendar Bintang

By Astri Soeparyono, Sabtu, 27 Oktober 2012 | 16:00 WIB
Pangeran dan Dua Puluh Pendar Bintang (Astri Soeparyono)

            Aku mendengus jengkel. Huh, tidak kulupakan dendam masa kecilku! Dengan kurang ajarnya ia mencuri, kemudian membacakan isi diaryku di depan anak-anak sekelas, waktu kami kelas 2 SMP. Dengan sengaja ia membacakan bagian tentang curhatan hatiku betapa aku menyukai pangeran bintang itu menurutku sangat romantis.

            Pangeran bintang adalah salah satu tokoh dalam sebuah drama. Drama itu dipertujukkan saat hari terakhir aku di London. Aku menontonnya dalam sebuah pertunjukkan amal dari kelompok mahasiswa seni. Seseorang memerankan tokoh pangeran bintang itu. sosoknya sangat dewasa dengan paras bulenya, rambut pirang yang lurus dan mata birunya yang jernih. Dia sungguh sangat mempesona. Mungkin aku tidak akan terobsesi padanya kalau dia tidak memerankan tokoh itu. Sungguh, pangeran bintang adalah sosok yang romantis.

            London adalah kota pertamaku sejak aku dilahirkan. Terasa sangat berat meniggalkannya. Namun ada rasa senang juga untukku, setelah 11 tahun aku di negeri orang akhirnya bisa pulang dan mengenal tanah airku lebih jauh. Saat ini aku hanya mengenalnya dari cerita orang tuaku.

            Pulang dari London, aku langsung masuk sekolah menengah. Cukup belepotan juga belajar dengan bahasa yang begitu kurang aku kuasai. Logatku pun susah untuk diperbaharui.

            "Hi orang aneh! Sok bule lo!"

            Itulah ejekan pertama Sendy yang tak mungkin aku lupakan. Teman sebangkuku yang paling menyebalkan yang selalu siap menggangguku dan menghancurkan hari-hari sekolahku dengan tindak tanduk dan keusilannya yang benar-benar menyebalkan.

            Tahu-tahu kudengar Sendy bersiul genit.

            "Kamu makin feminine. Wah, aku suka." Ia memegang tanganku. Tapi dengan cepat kutepis tangannya.

            "Permisi. Aku mau ke toilet."

            "Aku anter, ya?"

            "Idih, enggak perlu," dengan angkuh aku melewatinya.

            Dia menungguku di depan toilet. Ketika aku ke luar, ia menatapku sedemikian rupa.