Pangeran dan Dua Puluh Pendar Bintang

By Astri Soeparyono, Sabtu, 27 Oktober 2012 | 16:00 WIB
Pangeran dan Dua Puluh Pendar Bintang (Astri Soeparyono)

            Dengan penasaran dan sedikit berdebar-debar aku menuju ke arahnya. Makin dekat, makin jelas dan diantara cahaya itu ada....

            "Sendy?" bisikku heran

            Sendy menoleh dengan sangat terkejut.

            "Luli? Ngapain kamu malam-malam begini?" tanyanya.

            "Kamu sendiri ngapain? Teman-teman selalu bilang kalau kamu sering kular malam-malam. Dan lagi, kamu yang ngotot ngusulin kemping ini. Sebenarnya apa tujuanmu!" balasku.

            Sendy tidak menjawab. Baru sekali itu aku melihatnya salah tingkah. Aku memandang berkeliling. Ya ampun. Ini kunang-kunang! Luar biasa indahnya.

            Aku teringat akan lanjutan drama itu. pantas saja sang putrid tergila-gila. Ini memang indah. Sungguh.

            Tiba-tiba, aku tertegun. Jangan-jangan Sendy....

            Aku menoleh padanya, kulihat dia menyembunyikan sesuatu di balik badannya.

            "Apa itu Sen?"

            "Bukan apa-apa!"

            "Apa sih?" kuhampiri dia.

            Sendy mundur beberapa langkah.

            "Apaan sih?"

            "Bukan apa-apa!" tukas Sendy.

            Aku berusaha merebutnya. Sendy mengelak. Semakin membuat aku penasaran.

            Aku tertegun, ketika kantungan yang disembunyikan Sendy berhasil kurebut. Perlahan kubuka.

            Dan pendar-pendar cahaya kunang-kunang bermunculan, berterbangan. Aku terperangah, teringat pada penggalan terakhir dari

kisah drama itu.

            Seorang pemuda tampan datang padanya. Tapi sang putrid sudah tidak bergairah lagi pada sayembara itu. sekian banyak pemuda yang datang, tapi tidak ada yang bisa membawakan pendar bintang yang diinginkannya.

            "Lihatlah dulu sang putrid." Bujuk si pemuda tampan.

            "Ah, kamu sama seperti yang lain, tak mungkin ada pendar bintang kau bawa."

            "Beri hamba kesempatan, sekali saja!"

            Dengan tanpa asa, sang putrid mengalah. Dihampirinya sang pemuda.

            "Mana bintangmu? Bisakah kulihat?"

            Sang pemuda memberikan sebuah kain. Dengan penuh keheranan, sang puteri meraih kain itu. Perlahan-lahan, dibukanya kain itu dan dua puluh pendar-pendar cahaya bermunculan. Cantiknya tak kalah bersaing dengan elok cahaya bintang. Dua puluh kunang-kunang itu telah membeli cinta sang puteri.

            "Ehmm...jumlahnya hanya sebelas. Belum kudapat semua...maaf"

            "Jadi, tiap malam kamu bermaksud mencari itu?"

            Sendy tersenyum tipis.

            "Untuk aku?" tanyaku pelan.

            Sendy cuma menatapku, mengulangi senyumnya yang begitu tulus.

            Aku sungguh enggak tahu apa yang ada di dalam hatiku. Semuanya telah berbaur dan menjadi abstrak. Kurasa aku perlu menatapnya. Entah bagaimana harus membenahinya. Apalagi kalau harus menganalisa makna di dalamnya. Dan aku tertegun.

            Satu yang terasa nyata, aku mulai menimbang-nimbang, haruskan imej pangeran bintang yang sangat dewasa dengan paras bulenya yang tampan itu kuubah menjadi pangeran bintang yang usil, kulit hitam manis rambut ikal dan matanya yang lebar, nakal dan menantang? Ah, entahlah! Walaupun dia sulit menggenapinya menjadi dua puluh pendar bintang, tapi aku sangat menghargainya (entah apa yang kurasa, semuanya begitu menyentuhku). Hmm.. akan kuubah judul drama itu dengan pangeran usil dan sebelas pendar bintangnya.  

(Oleh: Irna Tresna Savitri)