Pangeran dan Dua Puluh Pendar Bintang

By Astri Soeparyono, Sabtu, 27 Oktober 2012 | 16:00 WIB
Pangeran dan Dua Puluh Pendar Bintang (Astri Soeparyono)

Pesta Riana malam itu sangat ramai. Entah berapa orang yang diundangnya. Benar-benar tempat yang sesak. Sudah setengah jam kukelilingi café ini, tak satu pun sisi yang bisa kusandari, apalagi kududuki.

            "Mau duduk Non?"

            Aku menoleh pada teguran itu yang aku yakin memang untukku. Aku terkejut. Rambutnya yang ikal, kulitnya yang hitam manis, matanya yang lebar, nakal dan menantang, senyumnya yang tipis dengan tarikan naik di sebelah sisinya. Hei! Aku kenal cowok ganteng ini. Aku tak lupa dengan orang paling ngejengkelin ini.

            "Hai Luli, masih ingat kan?" sapanya sok manis.

            "Sendy? Ngapain kamu di sini?"

            "Ya, mau ngobrol sama kamu, emang enggak boleh ya?"

            Aku diam tak menjawab

            "Kamu cantik sekarang."

            "Bukan urusanmu."

            "Masih ngarepin pangeran bintang dari London?"

            Aku tak menjawab lagi. Cowok sialan itu malah terpingkal-pingkal.

            "Sudah tua, masih berharap banyak. Pangeran bintang dari negeri mimpi. Ha ha ha..,"

            Aku mendengus jengkel. Huh, tidak kulupakan dendam masa kecilku! Dengan kurang ajarnya ia mencuri, kemudian membacakan isi diaryku di depan anak-anak sekelas, waktu kami kelas 2 SMP. Dengan sengaja ia membacakan bagian tentang curhatan hatiku betapa aku menyukai pangeran bintang itu menurutku sangat romantis.

            Pangeran bintang adalah salah satu tokoh dalam sebuah drama. Drama itu dipertujukkan saat hari terakhir aku di London. Aku menontonnya dalam sebuah pertunjukkan amal dari kelompok mahasiswa seni. Seseorang memerankan tokoh pangeran bintang itu. sosoknya sangat dewasa dengan paras bulenya, rambut pirang yang lurus dan mata birunya yang jernih. Dia sungguh sangat mempesona. Mungkin aku tidak akan terobsesi padanya kalau dia tidak memerankan tokoh itu. Sungguh, pangeran bintang adalah sosok yang romantis.

            London adalah kota pertamaku sejak aku dilahirkan. Terasa sangat berat meniggalkannya. Namun ada rasa senang juga untukku, setelah 11 tahun aku di negeri orang akhirnya bisa pulang dan mengenal tanah airku lebih jauh. Saat ini aku hanya mengenalnya dari cerita orang tuaku.

            Pulang dari London, aku langsung masuk sekolah menengah. Cukup belepotan juga belajar dengan bahasa yang begitu kurang aku kuasai. Logatku pun susah untuk diperbaharui.

            "Hi orang aneh! Sok bule lo!"

            Itulah ejekan pertama Sendy yang tak mungkin aku lupakan. Teman sebangkuku yang paling menyebalkan yang selalu siap menggangguku dan menghancurkan hari-hari sekolahku dengan tindak tanduk dan keusilannya yang benar-benar menyebalkan.

            Tahu-tahu kudengar Sendy bersiul genit.

            "Kamu makin feminine. Wah, aku suka." Ia memegang tanganku. Tapi dengan cepat kutepis tangannya.

            "Permisi. Aku mau ke toilet."

            "Aku anter, ya?"

            "Idih, enggak perlu," dengan angkuh aku melewatinya.

            Dia menungguku di depan toilet. Ketika aku ke luar, ia menatapku sedemikian rupa.

            "Jadi, apa acara kita Sabtu ini? Sepertinya, film-film yang beredar saat ini cukup menarik untuk ditonton."

            Aku menatapnya sinis.

            "Jangan berharap!" tukasku.

            Sekali lagi aku coba meninggalkannya. Melangkah keluar café yang sudah pengap itu. dan sekali lagi dia mengikutiku. Aku tak menggubrisnya. Di sini sangat jauh lebih segar. Aku menatap ke atas. Untung tidak mendung. Bintang nan indah masih tetap berpendar. Mengingatkan aku pada pangeran bintang itu.

            Tiba-tiba, kudengar Sendy terkekeh.

            "Luar biasa kamu ini Luli. Benar-benar masih terhanyut dengan tokoh pangeran itu yang entah dari negeri mana. Sampai tidak bisa melihat cowok!

            Aku terkejut.

            "Siapa yang bilang padamu?"

            "Hei nona manis, aku punya pengetahuan lenkap tentang kamu. Zicko banyak mencarikan informasi dari adiknya."

            Keningku berkerut. Oh rupanya ia mengenal kakak Riana dengan baik.

            "Apa maumu mencari tahu tentang aku?" selidikku curiga.

            "Hanya menjaga saham supaya tidak di sabotase orang." Matanya mendelik nakal kepadaku.

            "Kamu menyebalkan."

            "Lama-lama kamu akan suka."

            "Mimpi."

            "Mimpi itu bisa jadi kenyataan tak seperti mimpimu pada pangeran bintang dari negeri antah-berantah itu."

            Aku melotot lagi padanya. Kehabisan kata-kata, aku melirik jam tanganku.

            "Ooh sudah malam. Aku mau pulang. Permisi. Aku mau pamit pada Riana." Kataku tegas.

            "Aku antar," sergah Sendy cepat.

            "Tidak!"

            "Aku mau antar!" tegasnya

            "Tidak!"

            "Pokoknya kuantar!" Dia buru-buru mengeluarkan kunci mobilnya dan menatapku manis.

            Aku menatapnya sengit.

            "Begini tuan menyebalkan, hari ini aku diperbolehkan menggunakan mobil Papaku." Lalu dengan cepat kutinggalkan dia.

            "Lain kali jangan bawa mobil lagi Lul! Bilang ayahmu, ada yang bersedia membantunya mengirit bensin. Jadi supir pribadi juga mau kok," serunya menjengkelkan.

            Tak kugubris.

***

            Aku memang terlalu larut pada khayalanku, aku selalu berandai, aku ingin jadi putrid cantik itu. aku ingin membuka sayembara demi mendapat pangeran impian yang membawakan 20 pendar bintang. Dan memang setiap orang bebas berusaha untuk menjadi pangeran impian itu.

            Tapi Sendy? Tidak, jangan dia. Tiap hari dia menerorku dengan SMS gombalnya setiap waktu dan kirimkan empat ikat mawar merah, kuning, putih, dan pink tiap jam tiga sore, yang hampir membuatku marah.

            "Benar-benar menyebalkan!" ujarku sambil melemparkan empat ikat mawar itu ke dalam keranjang sampahku.

            Bahkan Riana, yang biasa menjadi teman setiaku, sekarang mulai ikut berkhianat. Omongannya tak bisa berkisar dari seorang tengik Sendy.

            "Ayolah Luli, Sendy kan sangat baik."

            "Apa?" hampir saja biji mataku loncat.

            "Adakah orang baik yang membacakan diary pribadi orang di depan banyak orang yang siap-siap menertawakannya?

            "Dia memang usil, tapi di balik itu, dia sangat baik dan terutama tergila-gila padamu."

            Aku nyengir, "Tergila-gila? Aku akan sangat bahagia kalau dia gila beneran."

            "Kamu ini, susah maafin orang ya?"

            "Memang!"

            "Luli, dengar. Sendy itu benar-benar suka sama kamu. Belum pernah aku melihat orang yang mencintai seperti dia."

            "Tentu saja. Kalau ada lagi, kasihan yang dicintainya!"

            Riana menghela napas. Tapi dia belum putus asa.

            "Dia yang terbaik Lul. Walau memang usilnya bukan main."

            "Ah, pokoknya aku benci dia."

            "Uh, kasihan sekali Sendy. Kenapa dia harus memilih kamu."

            "Ah, sudahlah."

            "Tahu enggak sih, kalau akhir-akhir ini, kamu tuh ngejengkelin? Dulu kamu yang paling ngerti aku! Tapi sekarang, kamu selalu membela Sendy! Yang kamu bicarain enggak jauh dari hal lain kecuali dia.

            "Aku cuma kasihan Lul."

            "Tapi itu menyudutkan aku."

            Riana terdiam.

***

            Kemping? Tahu-tahu saja aku dapat undangan untuk kemping 4 hari 3 malam dalam rangka reuni SMP.

            Kamu baru berpisah 3 tahun. Tapi rasanya banyak yang berubah, benar-benar memberikan kesan yang menyenangkan. Reuni ini benar-benar hebat. Apalagi kalau si usil itu tidak ikut.

            Tapi kenyataannya, Sendy ketua panitia. Oh my God!

            Dia menjengkelkan. Pasti dia selalu mendekatiku dan datang dengan keusilannya. Tapi pada hari kedua, mulai aneh. Tidak ada lagi keusilannya. Malah ia jadi sedikit pendiam. Ah, tapi aku sangat mensyukurinya. Seenggaknya aku lebih bisa menghabiskan waktu tanpa keusilannya.

            Saat itu, di tenda kami, aku dan 5 orang teman SMP-ku sedang asyik bernostalgia. Tiba-tiba saja....

            "Oh ya, ngomong-ngomong tentang Sendy, dia jadi agak aneh ya?" Pertanyaan itu terlontar dari Salma.

            "Iya, tadi aku di dekatnya. Matanya merah, kayak kurang tidur saja. Sudah gitu, bersin-bersin mulu, sambung Hani.

            "Eh, katanya, Si Anes lihat dia pergi sendirian malam kemarin. Terus si Sarah juga ngeliat pas hari ke dua," timpal Risma.

            "Ke mana?" tanyaku.

            "Enggak jelas. Tapi katanya, sampai mereka ketiduran, Sendy enggak balik-balik," jawab Risma.

            Aneh! Ke mana orang usil itu malam-malam? Mau enggak mau aku ikut jadi penasaran.

            "Lagian, tahu enggak? Kita reuni di sini itu usul dial ho. Waktu itu, dia benar-benar ngotot!" desis Hani.

            "Wah... jangan...jangan..." Risma menggantungkan kalimatnya.

            Aku cuma diam.

***

            Anak-anak setendaku langsung tidur begitu kami selesai mengobrol. Brrr...dinginnya bukan main. Aku tidak berani keluar tenda. Tapi rasa penasaranku dan dua cangkir kopi tadi sore yang kuminum, membuatku tidak bisa tidur. Daripada bengong sendirian di tenda. Akhirnya aku memaksakan keluar dan duduk di atas rumput tepat di tepi tendaku. Apa yang bisa kulakukan malam-malam begini?

            Tiba-tiba, aku melihat bayangan Sndy. Ya ampun, ternyata benar ia selalu keluar malam-malam.

            Ia menghilang dalam kegelapan. Aku benar-benar penasaran. Tanpa sadar aku bangkit. Berjalan ke arah ia menghilang tadi.

            Lho! Gawat! Jangan-jangan aku tersesat. Kucoba memandang berkeliling. Ih...gelapnya. Kurasakan aku mulai merinding. Ya ampun! Di mana jalan pulangnya tadi ya?

            Aku benar-benar ketakutan.

            Tiba-tiba saja aku melihat cahaya kecil di tengah kegelapan. Kemudian menjadi banyak. Apa itu?

            Dengan penasaran dan sedikit berdebar-debar aku menuju ke arahnya. Makin dekat, makin jelas dan diantara cahaya itu ada....

            "Sendy?" bisikku heran

            Sendy menoleh dengan sangat terkejut.

            "Luli? Ngapain kamu malam-malam begini?" tanyanya.

            "Kamu sendiri ngapain? Teman-teman selalu bilang kalau kamu sering kular malam-malam. Dan lagi, kamu yang ngotot ngusulin kemping ini. Sebenarnya apa tujuanmu!" balasku.

            Sendy tidak menjawab. Baru sekali itu aku melihatnya salah tingkah. Aku memandang berkeliling. Ya ampun. Ini kunang-kunang! Luar biasa indahnya.

            Aku teringat akan lanjutan drama itu. pantas saja sang putrid tergila-gila. Ini memang indah. Sungguh.

            Tiba-tiba, aku tertegun. Jangan-jangan Sendy....

            Aku menoleh padanya, kulihat dia menyembunyikan sesuatu di balik badannya.

            "Apa itu Sen?"

            "Bukan apa-apa!"

            "Apa sih?" kuhampiri dia.

            Sendy mundur beberapa langkah.

            "Apaan sih?"

            "Bukan apa-apa!" tukas Sendy.

            Aku berusaha merebutnya. Sendy mengelak. Semakin membuat aku penasaran.

            Aku tertegun, ketika kantungan yang disembunyikan Sendy berhasil kurebut. Perlahan kubuka.

            Dan pendar-pendar cahaya kunang-kunang bermunculan, berterbangan. Aku terperangah, teringat pada penggalan terakhir dari

kisah drama itu.

            Seorang pemuda tampan datang padanya. Tapi sang putrid sudah tidak bergairah lagi pada sayembara itu. sekian banyak pemuda yang datang, tapi tidak ada yang bisa membawakan pendar bintang yang diinginkannya.

            "Lihatlah dulu sang putrid." Bujuk si pemuda tampan.

            "Ah, kamu sama seperti yang lain, tak mungkin ada pendar bintang kau bawa."

            "Beri hamba kesempatan, sekali saja!"

            Dengan tanpa asa, sang putrid mengalah. Dihampirinya sang pemuda.

            "Mana bintangmu? Bisakah kulihat?"

            Sang pemuda memberikan sebuah kain. Dengan penuh keheranan, sang puteri meraih kain itu. Perlahan-lahan, dibukanya kain itu dan dua puluh pendar-pendar cahaya bermunculan. Cantiknya tak kalah bersaing dengan elok cahaya bintang. Dua puluh kunang-kunang itu telah membeli cinta sang puteri.

            "Ehmm...jumlahnya hanya sebelas. Belum kudapat semua...maaf"

            "Jadi, tiap malam kamu bermaksud mencari itu?"

            Sendy tersenyum tipis.

            "Untuk aku?" tanyaku pelan.

            Sendy cuma menatapku, mengulangi senyumnya yang begitu tulus.

            Aku sungguh enggak tahu apa yang ada di dalam hatiku. Semuanya telah berbaur dan menjadi abstrak. Kurasa aku perlu menatapnya. Entah bagaimana harus membenahinya. Apalagi kalau harus menganalisa makna di dalamnya. Dan aku tertegun.

            Satu yang terasa nyata, aku mulai menimbang-nimbang, haruskan imej pangeran bintang yang sangat dewasa dengan paras bulenya yang tampan itu kuubah menjadi pangeran bintang yang usil, kulit hitam manis rambut ikal dan matanya yang lebar, nakal dan menantang? Ah, entahlah! Walaupun dia sulit menggenapinya menjadi dua puluh pendar bintang, tapi aku sangat menghargainya (entah apa yang kurasa, semuanya begitu menyentuhku). Hmm.. akan kuubah judul drama itu dengan pangeran usil dan sebelas pendar bintangnya.  

(Oleh: Irna Tresna Savitri)