Pangeran dan Dua Puluh Pendar Bintang

By Astri Soeparyono, Sabtu, 27 Oktober 2012 | 16:00 WIB
Pangeran dan Dua Puluh Pendar Bintang (Astri Soeparyono)

            "Begini tuan menyebalkan, hari ini aku diperbolehkan menggunakan mobil Papaku." Lalu dengan cepat kutinggalkan dia.

            "Lain kali jangan bawa mobil lagi Lul! Bilang ayahmu, ada yang bersedia membantunya mengirit bensin. Jadi supir pribadi juga mau kok," serunya menjengkelkan.

            Tak kugubris.

***

            Aku memang terlalu larut pada khayalanku, aku selalu berandai, aku ingin jadi putrid cantik itu. aku ingin membuka sayembara demi mendapat pangeran impian yang membawakan 20 pendar bintang. Dan memang setiap orang bebas berusaha untuk menjadi pangeran impian itu.

            Tapi Sendy? Tidak, jangan dia. Tiap hari dia menerorku dengan SMS gombalnya setiap waktu dan kirimkan empat ikat mawar merah, kuning, putih, dan pink tiap jam tiga sore, yang hampir membuatku marah.

            "Benar-benar menyebalkan!" ujarku sambil melemparkan empat ikat mawar itu ke dalam keranjang sampahku.

            Bahkan Riana, yang biasa menjadi teman setiaku, sekarang mulai ikut berkhianat. Omongannya tak bisa berkisar dari seorang tengik Sendy.

            "Ayolah Luli, Sendy kan sangat baik."

            "Apa?" hampir saja biji mataku loncat.

            "Adakah orang baik yang membacakan diary pribadi orang di depan banyak orang yang siap-siap menertawakannya?

            "Dia memang usil, tapi di balik itu, dia sangat baik dan terutama tergila-gila padamu."