Mawari ni tenshi*

By Astri Soeparyono, Minggu, 21 Agustus 2011 | 16:00 WIB
Mawari ni tenshi* (Astri Soeparyono)

         Rasa sakit itu kembali menyerangku, menyerang pinggang dan perutku. Bahkan aku mulai terengah-engah. Napasku tak mengalir sebagaimana biasanya. Sesak itu lagi-lagi membelengguku." Lyra, Ra..."

         "Ardeth!! Kamu mau ke mana?! Ardeth, tunggu! Ardeth!!! ARDETH!!!"

         Aku terbangun di suatu tempat yang tak kukenal, namun rasanya begitu nyaman. Begitu hangat. Tapi juga gelap. Aku menoleh, sekelilingku hanya hitam dan hitam. Aku melangkahkan kakiku. Dapat kurasakan kakiku menyentuh sesuatu di bawah sana, namun tak dapat kulihat apa. Aku berjalan, dalam hening.

         Sebuah sinar kemudian menyapaku, menaungiku, turun dari langit yang luar biasa pekat seolah salju. Ya, salju. Aku pernah melihatnya, sewaktu aku kecil, sewaktu ayahku masih ada di sisiku dan membawaku berekreasi ke tanah kelahirannya.

         Ayah, orang yang paling kubenci dalam hidupku...

         Aku tak ingat tentang ibuku. Ia meninggal ketika melahirkan aku, begitu kata ayahku. Aku hanya diperlihatkan fotonya. Seorang wanita berambut pendek sebahu, dengan kaca mata tipis membingkai kedua matanya, menghiasi muka lonjongnya yang halus. Senyumnya di foto itu merekah. Ah, tidak. Di setiap fotonya pasti ia selalu tersenyum. Seperti malaikat. Begitu damai dan menenangkan. Amat serasi bersanding dengan ayahku yang keturunan Jepang, bertubuh tinggi tegap, gagah, bergaris wajah tegas, namun terlihat begitu bijak. Dan kalau ku perhatikan, aku memang begitu mirip ayah, terkecuali mataku yang mirip ibu. Sisanya, aku fotokopi dirinya persis.

         Kenapa aku benci ayahku? Hahaha, alasannya sederhana. Dengan dalih lelah mengurusku sendiri. Akhirnya aku dititipkan di panti asuhan di malam ulang tahunku yang ke tujuh. Ia memang berjanji akan datang dan mengambilku kembali. Namun yang kutemukan malah sebaiknya. Saat aku berumur lima belas tahun, lelah akan penantian yang penuh tanda Tanya, aku menemukan ayahku telah bersanding dengan wanita lain padahal janjinya, ia tidak akan pernah sekali pun mencarikan ibu pengganti untukku. Aku muak . muak dengan semua janjinya. Dan dua setengah tahun berlalu  setelah penemuan hal tersebut ayah masih belum datang menjemputku. Dasar penghianat.

         Tanpa  kusadari, cahaya-cahaya yang  mengepungku menjadi semakin banyak  persis seperti hujan salju. Aku dapat melihat sekelilingku, meskipun  masih menemukan  kegelapan pekat  dalam radius beberapa  meter kemanapun  aku berpaling. Tapi tidak jika aja melihat ke bawah,melihat apa yang kakiku pijaki.

         Tumpukan lulang belulang.

Berserakan. Jumlahnya ratusan. Tapi berbentuk.

         Aku bergidik. Kurasakan bulu roma ku  berdiri. Tempat apa ini sebenarnya?

         "Kau pastinya bertanya-tanya ini tempat apa, bukan?"