Aku sendiri tidak tahu apa yang terjadi. Yang jelas, aku di sana, di jalanan semrawut itu, menyeberanginya, di bawah hujan, berlari, dikejar sebuah suara kesepian yang meneriaki namaku. Namun kesadaranku merapuh. Di sisi trotoar berlumpur itu, aku melihatnya berlari, mengejarku mati-matian. Mataku kian memburam. Seluruh tubuhku begitu nyeri di sana sini. Sebelum tahu di mana dirinya, aku terjatuh.
Suara klakson mobil meraung, membahana. Lalu semuanya hilang. Aku terlelap dalam gelap.
***
Suara lembut itu menukas, menaikkan nada bicaranya di hadapanku, mengalahkan gemuruh hujan yang membasahi seragam putih abu-abu kami berdua."Kenapa kamu enggak kasih tau aku, Ar?!"
"Tentang apa? Apalagi yang harus aku kasih tahu ke kamu?"
"Tentang penyakit kamu! Kenapa kamu enggak pernah bilang kalau kamu kena gagal ginjal? Kenapa, Ar? Kenapa?"
"Maafin aku, Ra... aku enggak bisa bilang. Aku enggak pengen bikin kamu nangis."
"Tapi bakal lebih nyakitin kalu kamu diam terus kayak gini, Ar! Aku enggak mau kehilangan kamu! Orangtuaku kakak cewekku sudah meninggal tahun lalu. Kenapa kamu..."
"Justru karena itu aku enggak bisa bilang, Ra! Aku sayang sama kamu! Aku juga kehilangan ayahku yang... kamu tahu amat aku benci hingga detik ini. Aku tahu rasa kehilangan itu, Ra. Aku tahu... Aku enggak mau ngebiarin kamu ngerasain hal itu lagi!"
"Tapi semua ini sama saja! Gagal ginjal kamu udah kronis! Kamu tahu nyawa kamu di ujung tanduk, tapi kamu masih enggak mau terbuka! Apa salahku, Ar? Apa?"
Aku membeku, menatap sosok di hadapanku itu yang sudah berlinang air mata."Maaf...aaakkh!!"
"Ar? Ardeth, kamu kenapa? Ar?"
Rasa sakit itu kembali menyerangku, menyerang pinggang dan perutku. Bahkan aku mulai terengah-engah. Napasku tak mengalir sebagaimana biasanya. Sesak itu lagi-lagi membelengguku." Lyra, Ra..."
"Ardeth!! Kamu mau ke mana?! Ardeth, tunggu! Ardeth!!! ARDETH!!!"
Aku terbangun di suatu tempat yang tak kukenal, namun rasanya begitu nyaman. Begitu hangat. Tapi juga gelap. Aku menoleh, sekelilingku hanya hitam dan hitam. Aku melangkahkan kakiku. Dapat kurasakan kakiku menyentuh sesuatu di bawah sana, namun tak dapat kulihat apa. Aku berjalan, dalam hening.
Sebuah sinar kemudian menyapaku, menaungiku, turun dari langit yang luar biasa pekat seolah salju. Ya, salju. Aku pernah melihatnya, sewaktu aku kecil, sewaktu ayahku masih ada di sisiku dan membawaku berekreasi ke tanah kelahirannya.
Ayah, orang yang paling kubenci dalam hidupku...
Aku tak ingat tentang ibuku. Ia meninggal ketika melahirkan aku, begitu kata ayahku. Aku hanya diperlihatkan fotonya. Seorang wanita berambut pendek sebahu, dengan kaca mata tipis membingkai kedua matanya, menghiasi muka lonjongnya yang halus. Senyumnya di foto itu merekah. Ah, tidak. Di setiap fotonya pasti ia selalu tersenyum. Seperti malaikat. Begitu damai dan menenangkan. Amat serasi bersanding dengan ayahku yang keturunan Jepang, bertubuh tinggi tegap, gagah, bergaris wajah tegas, namun terlihat begitu bijak. Dan kalau ku perhatikan, aku memang begitu mirip ayah, terkecuali mataku yang mirip ibu. Sisanya, aku fotokopi dirinya persis.
Kenapa aku benci ayahku? Hahaha, alasannya sederhana. Dengan dalih lelah mengurusku sendiri. Akhirnya aku dititipkan di panti asuhan di malam ulang tahunku yang ke tujuh. Ia memang berjanji akan datang dan mengambilku kembali. Namun yang kutemukan malah sebaiknya. Saat aku berumur lima belas tahun, lelah akan penantian yang penuh tanda Tanya, aku menemukan ayahku telah bersanding dengan wanita lain padahal janjinya, ia tidak akan pernah sekali pun mencarikan ibu pengganti untukku. Aku muak . muak dengan semua janjinya. Dan dua setengah tahun berlalu setelah penemuan hal tersebut ayah masih belum datang menjemputku. Dasar penghianat.
Tanpa kusadari, cahaya-cahaya yang mengepungku menjadi semakin banyak persis seperti hujan salju. Aku dapat melihat sekelilingku, meskipun masih menemukan kegelapan pekat dalam radius beberapa meter kemanapun aku berpaling. Tapi tidak jika aja melihat ke bawah,melihat apa yang kakiku pijaki.
Tumpukan lulang belulang.
Berserakan. Jumlahnya ratusan. Tapi berbentuk.
Aku bergidik. Kurasakan bulu roma ku berdiri. Tempat apa ini sebenarnya?
"Kau pastinya bertanya-tanya ini tempat apa, bukan?"
Sebuah suara menyapaku dari balik punggungku. Aku berpaling menemukan seorang pria yang amat kukenal, berdiri disana menegakan sebuah kemeja tangan panjang putih berserta celana panjang putih. Ia tersenyum-Senyuman yang berakhir kali kulihat di malam ulang tahunku yang ke tujuh itu.
"A....Ayah? Kenapa... ayah ada di sini?"
Pria itu ayahku, tertawa kecil sembari menatapku ." kok malah Tanya? Tempat ayah ,kan, memang ada di sini!"
"Memang ini..di mana?" Tanya tergagap .Ayahku lagi-lagi tertawa.
"Lihat saja apa yang aku injak dikakimu. Ayah tidak menyangka anak ayah akan sebodoh ini ,sampai tidak bisa menganalisis tempat macam apa ini. Ke mana otak encer ayah turunkan padamu ,Nak? Dirampok orang?" godanya ,tertawa mengejek .
Aku berang, namun kegunanya logikaku untuk berpikir .Kegelapan pekat .Cahaya-cahaya kecil, tulang berserakan . Jangan-jangan..Oh tidak....
Apakah aku sudah mati? apakah ini tempatku sekarang berada? Tapi kalau dipikir-pikir, aku memang sudah tidak bisa merasakan sakit di sekujur tubuhku lagi. Apakah aku memang..mati? bukankah kalau seseorang mati, malaikat mautklah yang akan menjemputnya? kenapa aku malah bertemu pria ini? Masak sih, dia malaikat maut yang datang.
Menjemputku?Enggak elit banget!Enggak ada bagus-bagusnya !
"Kau merutuki apa, Ar?" Tanya pria itu lembut. Aku menegakkan kembali kepalaku. Kutatap ia lekat-lekat, meminta jawaban pasti.
"Ayah...Apakah aku sudah... mati?"
Sunyi. Ayah hanya tersenyum.
"Tempat apa ini, ayah? Neraka? Surga? Kok gelap? Lalu kenapa Ayah ada di sini?"
"Kau memang tak pernah berhenti bertanya," ucap ayah sembari menghela napas."Sekarang, sebelum ayah menjawab pertanyaanmu, ayah ingin Tanya satu hal. Apakah pertemuanmu kali ini dengan ayah... masih membuatmu membenci ayah?"
Aku terdiam. Membisu selama beberapa detik. Tanganku mengepal. Masak ia tidak tahu jawabannya?
"Ya. Masih. Kenapa Ayah menikahi seorang wanita tanpa restu diriku? Ayah anggap aku ini apa? Anak sapi? Lalu kenapa... Ayah bisa ada di sini?"
Aku berkata dalam satu napas. Namun kembali, ayah tersenyum hangat.
"Maaf, Ardeth. Maafkan ayah... Bukan maksud ayah meninggalkanmu. Ayah berniat mengenalkannya padamu, tapi..."
"Tapi?"
Ayah menghela napasnya lagi. Kali ini terdengar berat. Mndesah. "Ayah dan wanita itu mengalami kecelakaan pesawat saat kami hendak kembali dari Jakarta ke Bandung, saat kami hendak menemuimu. Dan, ya... seperti yang kau tahu sekarang...ayah berakhir di sini, di tempat ini."
Apa? Jadi ... tempat ini benar-benar... Tuhan ... inikah tempat tinggalku sekarang?
"Ardeth, apakah kau masih membenci ayah dan wanita itu?"
Penjelasan ayah sudah lebih dari cukup. Hatiku serasa diperas. Aku menggeleng. Merutuk dalam diam. Bukan merutuki ayah. Tapi diriku sendiri. Terlalu dimainkan perasaan. Kenapa aku tidak bisa lebih mempercayainya?
"Lalu di mana wanita itu? Dia tidak bersama Ayah?"
"Dia pergi ke tempat ibumu. Ke surga. Ayah ada di sini karena dosa ayah yang meninggalkanmu sendirian. Tapi taka pa. ayah menerimanya, karena penderitaan yang kau alami lebih meyakitkan dari ayah." Lalu," ucapnya lambat-lambat ," Apa yang terjadi dengan ginjalmu? Apa yang menyebabkanmu hingga terperosok kemari?"
Aku lagi-lagi terdiam. Haruskah kukatakan, minuman keras dari pergaulanku itulah yang menyebabkanku seperti ini, setelah kehilangan dirinya? Tidak. Ia pasti akan merasa sedih dan terpukul. Lagipula aku sendiri tak tahu, apa yang membuatku datang kemari. Apakah aku tidak berhasil menyebrangi jalan itu dan tertabrak? Apakah klakson yang kudengar terakhir kali itu adalah klakson yang dibunyikan saat mobil itu menabrakku? Ah, aku tak ingat. Semuanya berputar begitu saja di otakku.
"Aku ..enggak tahu, Yah....."
"Hmm...kau tidak tahu ? lalu ...kau yakin kalau kau sudah mati ?"
"Ya..sudah sepantasnya begitu, kan?Ngapain donk aku kesini kalau memang aku masih hidup?Ngamen?"
Aku mnoleh. tiba-tiba sebuah pemandangan lain yang menyergapku. Aku terperanjat.sebuah pandang bunga luas membenteng menampakkan wujudnya di hadapanku.Di sini ,berdiri tiga orang perempuan.Yang pertama ku lihat adalah seorang wanita berkaca mata dengan poting rambutnya yang pendek sebahu ibu.pasti itu ibu, yang kedua ada seorang wanita berkulit gelap yang kukenal sebagai seorang yang bersanding dengan ayahku dua setengah tahun yang lalu.Ia tersenyum menatapku ,sama seperti ibu.Keduanya sama-sama seperti ma perempuan yang terakhir,seorang gadis yang berambut ikal panjang.Aura secantik rasi bintang di langit utara Lybra?
Sontak aku berpaling pada ayah namun ayahku hanya tersenyum.kutolehkan lagi kepalaku pada bunga dihadapanku. Ibu dan wanita itu tersenyum, sementara lyra, ia melambaikan tangannya. Tertawa dengan wajah polosnya.
"Ayah...kenapa? Kenapa Lyra kesini? Kenapa...."
"Kau harus pulang,Nak," bisik sorot matanya jatuh tepat di kedua mataku yang balik menatapnya ia "Temukan sendiri jawabnya.berapa waktunya kau untuk tinggal disini.
"Ta...tapi....."
"Pergilah.Ayah belum membangun rumah untukmu disurga.nanti kalau kau sudah tulus memaafkan ayah ayah sudah di perbolehkan kesurga kau bisa pulang kemari sesuai waktu yang di tentukan."
Belum sempat aku membantah, ayah tiba-tiba mendorong tubuhku sebuah lubang hitam besar begitu saja dihadapanku. aku kemudian terjatuh, terjun bebas dari ketinggian tiada tara
...Hingga aku menemukan diriku di sebuah ruangan putih yang menyilaukan.....
"Ardeth!! Ardeth!! Akhirnya lo sadar juga !"
Aku membuka mata, menemukan seorang pemuda plontos berkulit hitam manis duduk di sampingku." A...ah? Elo rupanya... Vin... Ini di...."
"Di rumah sakit, Bro. lo pikir di mana gitu? Tempat dugem?"
"Nggh... Gue... kenapa ya, Vin?"
"Gilaaaa! Lo bikin orang-orang satu sekolah panik, tahu! Gila lo, nekat!"
"Emangnya gue...kenapa? Gue enggak begitu ingat..."
"Setelah pertengkaran lo yang heboh abis itu sama Lyra, gue lihat lo lari keluar sekolah. lyra ngejar lo, mangil-mangil nama lo. Ya jelas gue langsung lari juga ngejar kalian berdua. Nekat banget lo, nyebrangin jalan raya di saat jalanan rame pas bubaran sekolah kaya gitu. Salut banget gue, lo masih bisa hidup sampai detik ini! Gu udah tajut aja lo gepeng kayak keripik singkong kelindes mobil-mobil gila itu, Bro!"
"Terus mana Lyra?"
Diam. Alvin menatapku dengan pandangan iba dan bersalah.
"Alvin?"
Kudengar Alvin mendesah, menghela napas berat."Sorry, Bro..."
"Vin? Lyra... dia enggak kenapa-kenapa, kan?"
"Sorry... Gue bakal nyampein berita yang enggak enak banget. Sebnarnya ini, permintaannya Lyra..."
Aku menahan napas. "Kenapa... dengan dia, Vin?"
"Lyra.. dia ketabrak mobil... barengan sama lo yang pingsan gara-gara ginjal lo itu. Kalian berdua masuk UGD. Lyra sadar lebih cepat, tapi kondisinya parah. Kakinya patah, plus bebrapa tulang rusuknya juga. Dia kritis, susah untuk diselametin. Terus... pas tahu lo sekarat, dia..."
"Dia apa... Vin, jawab gue!"
"Dia donorin ginjalnya buat lo. Dia titip pesan ke gue. Katanya.. lo masih harus hidup untuk maafin bokap lo. Lo masih harus hidup untuk nbus semua yang sudah lo sembunyiin sama dia. Ta.. tapi ... dia senyum, Bro. dia snyum. Terakhir kali gue liat dia, dia cantik banget. Dia kayak malaikat. Sumpah, deh. Makannya...lo jangan nyia-nyiain apa yang sudah malaikat itu kasih sama lo."
Mendngarnya, sebuah senyum getir muncul di wajahku. "Hahaha... Hahaha..."
"Kenapa lo, Bro? kok tiba-tiba ketawa ngeri sendiri gitu?"
"Gue ketemu Lyra tadi, Vin... Dia sudah maafin gue, gue tahu dari senyumnya... Dan gue sudah maafin bokap gue juga..."
"Aku tertawa pahit.
"Kok, lo jadi meracau gini, sih?"
Aku masih tertawa. Tawa yang tak dapat kuhentikan.
"Ar, gu tahu lo terpukul... Gue tahu lo sedih, tapi..."
Diam. Aku hanya mendengar suara detak jarum jam di kejauhan.
"Ar? Ardeth? Bro, what's up?"
Sunyi. Tak kudengar suara-suara itu lagi. Aku tersenyum. Kupejamkan mataku.
***
Oleh : Pratiwi Fitriani
*malaikat di Sekelilingku - bahasa Jepang.