Cerita Cewek yang Hamil di Luar Nikah dan Harus Menjadi Ibu di Usia 16 Tahun

By Ifnur Hikmah, Selasa, 8 Mei 2018 | 15:00 WIB
Cerita Cewek yang Hamil di Luar Nikah dan Harus Menjadi Ibu di Usia 16 Tahun (Ifnur Hikmah)

Masa-masa remaja yang seharusnya dilalui dengan indah rupanya enggak dialami oleh B. Dibesarkan di keluarga broken home membuatnya mencari pelarian lain.

Ia menggantungkan dirinya pada cowok yang kala itu memberikan perhatian yang enggak pernah ia dapatkan dari keluarganya.

Namun, B melakukan kesalahan hingga akhirnya hamil di usia 16 tahun dan terpaksa putus sekolah. Kepada cewekbanget.id, B menceritakan kisahnya.

(Baca juga: Pengakuan Cewek Korban Bully)

Hamil di Usia 16 Tahun

“Aku hamil di usiaku yang masih 16 tahun. Bukan, bukan karena diperkosa. Tapi, karena aku salah langkah.

Tahun 2010 merupakan tahun yang enggak akan pernah bisa aku lupakan seumur hidupku. Di tahun itu orang tuaku bercerai.

Setelah beribu pertengkaran yang enggak pernah ada solusinya, mereka memutuskan untuk berpisah.

Aku hancur. Bukan berarti aku memiliki hidup yang indah sebelumnya, tapi perceraian papa dan mama merupakan pukulan besar dalam hidupku.

Tahun itu pula aku harus berpisah dengan mama dan adikku. Tanpa diberi kesempatan untuk memilih, aku harus ikut papaku ke Kalimantan. Sedangkan mama dan adikku tetap tinggal di Jakarta.

Masa-masa adaptasi di lingkungan baru bukan hal yang mudah. Aku masuk ke salah satu sekolah ternama di Kalimantan tanpa ada perasaan bahagia sedikit pun. Hampa.

Ditambah lagi dengan perbedaan budaya yang semakin membentangkan jarak antara aku dan teman-teman baruku. Sampai akhirnya aku kenalan dengan seorang cowok ketika di pelajaran olahraga.

Berbeda dari teman sekelasku yang lain, ia baik banget. Ia menanyakan alamat rumahku, bahkan menawariku tumpangan sepulang sekolah. Singkatnya kami menjadi dekat dan akhirnya berpacaran.

Melakukan Hubungan Seks

Pekerjaan ayah yang mengharuskannya untuk sering bepergian membuatku lebih sering berada di rumah sendirian. Kesepian, aku menyuruh dia untuk menemaniku.

Sekali, dua kali, enggak ada yang terjadi. Kami hanya ngobrol biasa, nonton TV, dan bercanda. Hal normal yang dilakukan pasangan yang berpacaran.

Sampai akhirnya, ketika untuk kesekian kalinya aku mengundangnya datang ke rumah, kami berciuman. Mulai dari sana, timbul keinginan untuk melakukan hal lebih. Sampai akhirnya kami melakukan hubungan seks.

Ketika itu terjadi, aku sadar aku sudah enggak perawan lagi, tapi aku sama sekali enggak menyesal. Saat itu aku berpikir, itu hal yang tepat. Toh kami sama-sama saling mencintai.

Di sisi lain, mungkin saat itu ada bagian dari diriku yang ingin balas dendam dengan kehidupan. Kehidupanku yang sudah hancur dan memuakkan.

Masalah yang lebih besar pun datang. Beberapa minggu setelah kejadian itu, aku harus menelan kenyataan bahwa aku hamil, dan aku masih 16 tahun. Aku dan dia sama-sama takut. Tapi dia memberanikan diri untuk mengaku kepada kedua orangtuanya juga ayahku.

Masalahnya, ayahku tipe orang yang sangat keras. Aku tahu pada saat itu sejuta perasaan pasti berkecamuk dalam dirinya. Luapan kemarahan, kesedihan, dan kekecewaan jadi satu. Di hari kami mengaku, ayah mengusirku dari rumah.

Keluar dari Sekolah

Berita kehamilanku pun segera menyebar. Dalam waktu singkat satu sekolah tahu kalau aku hamil, bahkan kakak-kakak kelasku pun tahu. Berbagai makian dan julukkan kasar pun dilontarkan kepadaku. Cewek bispak, murahan, lonte, dan masih banyak lagi predikat yang mereka berikan untukku.

Namun fokus terbesarku saat itu adalah masalah kehamilanku. Aku enggak siap hamil. Enggak siap menjadi seorang ibu. Dengan sejarah keluargaku yang kelam itu, bagimana aku bisa jadi ibu yang baik? Aku juga enggak siap untuk menikah.

Dengan segala alasan, aku memutuskan kembali ke Jakarta dan tinggal bersama mama. Hidupku kembali berubah. Setelah mama membujukku terus menerus, akhirnya aku mau menikah dengan pacarku itu. Tentunya tanpa dihadiri ayah.

Merasa Enggak Punya Masa Depan

Saat itu aku enggak lagi sanggup berharap untuk masa depan. Masa depan apanya, ijazah SMA saja kami enggak punya. Karena suamiku belum mempunyai pekerjaan, kami terpaksa tinggal di rumah orangtua suamiku.

Ketika itu aku menjalani hidupku dengan pasrah. Tanpa tujuan dan tanpa arah. Sama sekali enggak terbayang bagaimana rumah tangga ini nantinya.

Pasca kelahiran anak kami, pasanganku sepertinya mulai menyadari kalau sebagai kepala rumah tangga setidaknya harus berusaha mencari nafkah.

Tapi tanpa adanya gelar dan keahlian, pekerjaan yang ia dapatkan hanyalah sebagai tukang parkir di sebuah swalayan dekat komplek rumah kami.

Penghasilannya yang enggak seberapa hanya cukup untuk memberi makan kami sehari demi sehari. Sedangkan kebutuhan kami yang lainnya masih ditanggung oleh orangtua.

Di masa-masa sulit itulah aku sadar bahwa tindakan bodohku untuk balas dendam pada kenyataan pahit yang aku alami betul-betul salah.

Alasanku untuk berhubungan seks di usia dini juga merupakan sebuah kekeliruan besar. Itu bukan cinta, tapi pelampiasan. Yang aku dapatkan setelahnya hanya rasa penyesalan yang mendalam.

Saat ini kami tinggal di sebuah kontrakan kecil di Tangerang. Suamiku bekerja serabutan, kadang menjadi kuli bangunan, kadang kala juga menjadi tukang ojek, dan berbagai pekerjaan lainnya.

Aku hanya di rumah, mengurus rumah sekaligus menjaga anakku yang kini sudah duduk di bangku TK.

Remaja & Seks

Faktanya, menurut data yang dilansir dari BKBN tahun 2013, jumlah seks bebas di kalangan remaja usia 10-14 tahun mencapai 4,38%, sedangkan pada usia 14-19, jumlahnya mencapai angka 41,8%.

Kita juga harus waspada pada beberapa bahaya yang bisa timbul karena hubungan seks-pranikah ini, salah satunya adalah virus HIV/AIDS.

Sedihnya, menurut data yang dikeluarkan oleh UNICEF, jumlah kematian remaja yang disebabkan oleh HIV/AIDS di seluruh dunia meningkat sebesar 50% dari tahun tahun 2005 hingga 2012.

Fakta-fakta mengkhawatirkan ini tentu enggak bisa diabaikan. Sebagai remaja, kita harus bisa meminimalisir pergaulan bebas yang marak terjadi belakangan hari ini. Intinya, kita harus lebih berhati-hati, nih.