Rachel terkesiap bangun. Matanya terbuka nyalang menatap langit-langit. Dahinya terasa lembab dan rambut panjangnya lengket oleh keringat dingin. Mimpinya semalam mengerikan sekali. Ia bahkan tak mengira bahwa semua yang ia alami ternyata hanya sebuah mimpi buruk. Terlalu nyata dan hidup! Kicau burung yang ribut, suara Thomas si tukang kebun yang bertengkar dengan Nana merebut kesadarannya dengan sempurna. Rachel duduk bersandar pada kepala ranjang untuk meraih segelas air putih yang mungkin bisa meredakan debar jantungnya. Ingatan gadis itu melayang pada kedipan boneka gipsi di mimpinya semalam. Kengerian kembali mencekik tenggorokan. Segera diteguknya tandas isi gelas itu lalu ia hembuskan napas panjang sesudahnya. Mencoba mengusir ketakutan.
Tiba-tiba matanya menangkap warna kuning dari kelopak daffodil di ujung bawah selimutnya. Wajah Rachel seketika memucat dan jantungnya seolah berhenti.
Sebuah ketukan di pintu dan tubuh besar milik Nana memasuki kamar Rachel.
"Selamat pagi, Kenapa kau begitu pucat seperti baru melihat hantu?"
Rachel menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Tidak ada apa-apa, Nana. Sungguh," ujarnya berusaha meyakinkan Nana.
"Apa itu yang kau bawa?" Rachel menunjuk bungkusan besar berpita yang dibawa Nana.
"Oh, seorang kurir mengantarkannya untukmu pagi ini. Tapi aku tak mendengar dengan jelas nama pengirim yang diucapkannya. Bahkan kartu kecil si pengirim entah menyelip kemana." Nana menggelengkan kepala dengan rupa prihatin.
Rachel membuka simpul pita bingkisan itu, membuka kotaknya dan jantungnya mencelos. Sedetik kemudian jeritanny melengking terdengar ke penjuru rumah. Kotak bingkisan itu terlempar keras, dan isinya terguling di lantai.
Sebuah boneka berambut pirang gelap dan bermata biru yang mengedip padanya.
(Oleh: Tantri Shubhaprada, foto: pinterest.com)
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR