PLUK! Sebuah kertas mendarat dengan mulus di bawah meja Suti. Dengan muka tenang, Suti menginjak kertas tersebut. Lalu ia membetulkan tali sepatunya yang terlepas. Tidak, tali sepatu itu tidak terlepas lantaran diajak jalan oleh majikannya. Atau juga bukan karena sudah lelah menjadi terbelit-belit lantas terlepas begitu saja.
Tali sepatu itu memang sengaja dilepas. Kenapa? Supaya bisa dipasang saat ujian, sekaligus mengambil kertas contekan yang dilempar-lempar melalui garis bawah penglihatan (baca: kolong meja). Walaaah.
Begitulah, tak cuma Suti. Ada banyak anak yang melakukan aksi serupa tapi tak sama. Suasana yang tenang di mata seorang guru ternyata menyimpan sejuta keganasan. Andai saja sang guru menoleh di saat yang tepat, maka terbongkarlah rahasia seisi kelas.
Tapi hal itu tidak pernah terjadi. Sejauh ini.
Padahal banyak hal terselubung. Seperti, rahasia contekan di balik bandana, di dalam bungkus penghapus. Ada juga yang di balik kaus kaki. Sampai ada yang menaruh di balik label botol minum. Yang terakhir ini, sudah lama ditinggalkan banyak siswa. Tentu saja bukan. Bukan karena pernah ketahuan. Tapi contekannya terlanjur luntur dan pudar, kena air. Hihihi.
Dalam sepi yang terselubung, ada satu kepala sedang menunduk. Diam. Kepala itu menatap ke lembar soal. Mukanya tenang penuh dengan keseriusan. Kadang-kadang ia tersenyum jika menemui soal yang ia mengerti, atau sama dengan materi yang pernah ia baca.
Sesekali Suti menoleh ke arahnya, "Li! Udah selesai belum?"
Kepala itu cuma tersenyum sambil mengacungkan jempol. Walau kenyataannya...tidak semua soal bisa ia kerjakan....
***
Lili, ia memang satu sosok remaja yang penampakannya biasa saja. "Biasa banget malah," begitu komentar seorang teman.
Tidak begitu dengan yang ada di pikiran Suti. Buat Suti, sobat baiknya itu memang pendiam. Walau Suti pernah melempar contekan ke arahnya tapi Lili tidak mau. Ini aneh. Aneh untuk teman-teman di kelas mereka.
Tapi Lili enggak pernah ambil pusing dengan mereka yang suka nyontek. Enggak pernah mau peduli. "Karena nyontek juga usaha yang keras, loh. Cuma saja, caranya salah, " kata Lili pada Suti saat pulang sekolah.
"Berarti kamu setuju dong sama nyontek?" tanya Suti sambil buka tutup botol.
"Bukan masalah setuju atau enggak...." ditatapnya Suti yang menenggak air kemasan dengan hausnya. Sambil berdiri.
"Tapi kan, kita semua terpaksa. Kalo kita pinter kayak kamu, sih, enggak masalah." Suti menyadari ada yang aneh dengan cara minumnya. "Ya ampun! Minum sambil berdiri, kan, enggak baik, ya...?"
Lili tertawa. Tapi jauh di dalam hatinya, ada yang ingin ia katakan. Tentang menyontek yang membuat perasaannya dicabik-cabik karena meragukan dirinya sendiri. Tentang mencontek, yang walau terpaksa dan sama-sama usaha, mencontek bukanlah cara yang benar. Iya, kalau cuma sekali. Kebiasaan buruk yang enggak ketahuan itu bisa jadi candu. Sakau!
Tapi kata-kata itu tidak terucap dari mulut Lili. Rasa takut dibilang munafik, sok suci dan julukan lainnya yang membuat ia urung.
Kata-kata itu tidak hilang. Kata-kata itu bersinar. Memantul-mantul, makin lama cahayanya makin cerah. Terang. Ia hidup dalam pikiran bawah sadar seorang Lili.
***
Sebenarnya, kalau Suti berpikiran Lili itu pintar...ia tak sepenuhnya benar. Lili tergolong standar di semua mata pelajaran. Kecuali, Bahasa Jepang. Buktinya ia cuma bertahan di lima besar. Tidak pernah masuk ke tiga besar.
"Itu karena kamu enggak pernah nyontek, Li, " Suti beralasan. "Kalo kami, kan, energinya ada dua. Belajar dan contekan." Lili cuma geleng-geleng.
"Eh, tiga deng!" teriak Suti tiba-tiba, "Sama doa...."
Lili tersenyum. Tapi tentang Bahasa Jepang, Lili memang terobsesi mendalami belajar bahasa itu. Alasannya? Banyak. Tapi salah satu yang paling kuat adalah karena...Enik Sensei, Bu Guru Enik.
Guru bahasa Jepang itu super baik. Ramah, enggak pernah marah-marah. Murah senyum, cara mengajarnya pun enak. Maka dari itu, Lili menobatkan Enik Sensei sebagai guru terbaik se-atap sekolah.
***
Peluh membanjiri kening Lili saat ulangan Bahasa Jepang.
Kenapa?
Semalam ia tidak belajar. Sudah satu minggu ini badannya panas. Jangankan belajar, lihat huruf saja kepalanya sudah pusing. Apalagi huruf kanji. Hatinya ingin menjerit. Ia mulai melirik pada Enik Sensei. Lalu pada bangku Suti.
Lili melihat anak di kelasnya aktif menggerakkan pulpen mereka. Kecuali dirinya. Ia yang tak tahu harus mengisi apa. Memilih a, b atau c pada soal pilihan ganda. Tidak tahu harus menulis apa pada jawaban esai.
Semua kata tertukar-tukar di kepalanya. Kali ini, kalau ia tak mencontek, resikonya adalah...remedial.
'Nyontek,' kata hatinya yang sebelah kiri.
'Jangan!' Hatinya yang kanan menjerit.
'Nyontek!'
'Enggak!'
'Nyontek! Nyontek! Nyontek!'
'Enggak! Enggak! Enggak!'
Cukup! Lili membanting pulpennya hingga jatuh ke bawah meja. Dua suara hati itu diam. Takut kalau-kalau Lili membentak-bentak mereka.
Dan...tanpa disangka, sebuah lipatan kecil berisi kunci jawaban ada di dekat pulpen itu. Lipatan kertas yang tergeletak begitu pasrah.
***
Lili merasakan berharganya lipatan kertas itu. Lipatan yang, mungkin saja bisa jadi penyelamatnya.
'Sekali ini saja.... Sekali ini saja.' Suara hati kiri unggul jauh dari yang kanan. Suara kanan bungkam. Sembunyi di pojok hati. Mengecil. Tidak berarti.
Tepat di saat yang bersamaan, mata Lili tertumbuk dengan tubuh Enik Sensei. Guru itu melihatnya. Bukan. Bukan melihat Lili. Tapi melihat Suti. Sementara Suti yang sedang mencontek tidak sadar bahwa Enik Sensei sedang mengamatinya.
Jantung Lili berdegup kencang. Apa yang akan Enik Sensei lakukan? Memanggil Suti ke ruang guru? Tidak boleh ikut ujian semester? Dibentak di depan, kelas atau...diskors? Ah, Suti sedang tidak beruntung.
Tapi tidak.
Enik Sensei tidak mengatakan apa pun. Hanya saja, ada air mata yang jatuh dari sisi-sisi matanya. Mata indah dengan maskara sederhana. Ia pergi.
Lili mematung.
Enik Sensei tidak kembali sampai pelajaran usai.
***
Maka usai jam sekolah, Lili pergi ke belakang kantin. Tempat itu sepi. Hanya tanah lapang yang terhampar dan beberapa pohon besar.
Dekat dengan sebuah pohon paling besar, Lili berteriak. Tapi tak ada orang lain di sana. Hanya ada sebuah lipatan kertas yang sudah di sobek kecil-kecil olehnya. Sobekan kertas itu ditimpukinya dengan batu krikil. Sobekan kertas yang ingin ia contek.
Satu dari banyak kertas yang dipakai oleh ia dan teman-temannya mencontek. Kertas-kertas yang membuat Enik Sensei menangis.
Hatinya terasa hancur. Tidak ada yang bisa mengerti. Hanya dirinya yang melihat Enik Sensei menangis. Hanya dia, teman-temannya yang lain tidak.
Dan setelah Enik Sensei keluar dari kelas, seisi kelas malah mencontek dengan terang-terangan. Ini memang hal biasa. Pemandangan biasa bagi Lili dan teman-temannya, meski Lili tidak biasa mencontek. Tapi bagi Enik Sensei? Bagi seorang guru yang benar-benar percaya kepada muridnya...ini adalah hal yang pahit.
Sepahit mulut Lili untuk mengatakan kebenaran. Mengatakan apa yang ia lihat kepada teman-temannya, kepada Suti.
"Kau melihat Ibu menangis?" Suara dari belakang menghentakkan Lili. Ia ragu untuk membalikkan tubuhnya. Itu jelas...suara Enik Sensei. "Ibu tahu sejak lama. Hanya saja Ibu menutup mata untuk tidak percaya."
"Kenapa Ibu tidak memarahi kami?" Lili masih belum membalikkan tubuhnya.
"Karena ibu ingin kalian sadar...."
"Dan kami enggak pernah sadar, iya, kan, Bu?"
"Belum, bukan tidak...."
"Tapi kenapa tadi Ibu menangis? Kenapa Ibu enggak menghukum Suti? Kenapa Ibu enggak menghukum saya? Kenapa Ibu enggak menghukum kami?" Enik Sensei membalikkan tubuhnya. Kini Lili dan Enik sensei saling membelakangi.
Enik Sensei berusaha tersenyum, "Ibu percaya kalian akan sadar."
Di balik tembok belakang kantin, sepasang mata mengamati mereka. Mata yang bulat dan terus menatap. Di dalamnya, ada kaca-kaca yang akan jatuh dan menetes. Suti. Ada penyesalan yang besar di hatinya.
Bukankah airmata penyesalan adalah airmata paling cantik?
Ya, airmata yang cantik, kirei na namida.
(oleh Rizki D Utami, foto: weheartit.com)
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR